Wednesday, March 26, 2008

Pesona Air Terjun Lhong


Desiran air yang mengair dari bebatuan dan sembilir angin yang berhembus di antara pepohonan yang mejulang tinggi menambah keasrian objek wisata air terjun di Desa Krueng Kala, Kacamatan Lhong, Kabupaten Aceh Besar.

Saban harinya, terutama pada hari Sabtu dan Minggu tempat yang berlokasi sekitar 55 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh tersebut kerapkali dikunjungi ratusan bahkan ribuan masyarakat dari Banda Aceh dan Aceh Besar, bahkan ada juga yang sengaja datang dari Lamno, Kabupaten Aceh Jaya.

Selain memiliki kolam pemandian yang luas dan dalam, para pengunjung yang datang juga dapat menikmati pemandangan hijau dan suguhan makanan dan minuman dari sejumlah warung yang dikelola warga setempat dengan harga yang relatif murah.

Dan bagi pengunjung yang merasa penasaran dengan sumber aliran air terjun yang terdapat di puncak gunung dapat menelusurinya dengan mendaki sejumlah tangga yang terjal. Namun untuk hal yang satu ini hanya diperbolehkan bagi kaum lelaki saja, sesuai yang dituliskan pengelola objek wisata di pintu tangga.

“Pengkhususan jalur naik ke atas bagi laki-laki ini bertujuan untuk menghindari terjadinya berbagai hal-hal yang bertentangan dengan Syariat Islam, terlebih di sana hutannya sangat lebat dan jauh dari jangakauan mata kita,” kata warga setempat, Risman.

Air terjun Lhong juga menyimpan berjuta sumber daya alam yang berguna bagi manusia, salah satunya adalah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) oleh PT Cola-Cola dengan memanfaatkan arus air sebagai daya utama yang dapat mecukupi kebutuhan listrik ke seluruh desa setempat.

Meskipun pada masa konflik, objek wisata ini sempat ditinggalkan dan tidak terurus, namun kini wisata air terjun Lhong mulai kembali dilirik oleh wisatawan lokal maupun mancanegara serta lingkungannya pun semakin tertata rapi dan bersih.

“Pada masa konflik, daerah ini termasuk kawasan yang sangat rawan bahkan menjadi zona hitam. Jadi wajar saja kalau dulu wisata air terjun Lhong ini jarang diketahui oleh masyarakat,” ujar Risman.

Sementara, Anto, pengunjung dari Banda Aceh mengatakan, wisata air terjun Lhong merupakan tempat yang sangat ia gemari untuk dikunjungi, selain masih sangat alami, tempat tersebut juga mudah dijangkau.

“Memang jalan Banda Aceh – Meulaboh saat ini masih dalam proses pembangunan, tapi meski demikian jarak tempuh menuju ke sini masih bisa dilalui dengan kendaraan bermotor dan hanya memakan waktu 1 jam dari Kota Banda Aceh,” kata pria hitam manis yang juga mahasiswa Unsyiah itu.

Jadi bagi anda yang menyukai objek wisata alam, tidak ada salahnya untuk mencoba mengunjungi air terjun Lhong, Aceh Besar guna menikmati panorama alam yang natural lelah penat selama bekerja mungkin akan sirna seketika anda tiba di sana. *** (Acun)

Dipublikasikan di Tabloid Sipil Edisi I (Maret 2008)

Monday, March 24, 2008

Mencoklatkan Ulee Gunong

Mungkin dulu semua orang hanya mengenal Kabupaten Pidie sebagai daerah penghasil melinjo (boh mulieng), sehingga tidak jarang hasil pertanian ini kerap dijadikan sebagai buah tangan atau oleh-oleh bagi orang yang bepergian ke sana. Selain itu, komoditi unggulan tersebut juga telah diekspor ke berbagai daerah di Indonesia maupun manca negara.

Namun di balik itu semua, perlahan tapi pasti, kini masyarakat di Kabupaten Pidie mulai menghasilkan komoditi unggulan baru lainnya yang tidak kalah menjanjikan dan sangat diminati pengekspor bahan baku makanan yang ada di berbagai belahan dunia yaitu coklat (kakao).

Ulee Gunong, Kecamatan Tangse merupakan salah satu desa penghasil kakao terbesar di Pidie. Hampir semua masyarakat di desa tersebut berprofesi sebagai petani kakao, mulai dari yang hanya memiliki lahan puluhan meter hingga puluhan hektar. Tanaman ini telah dikembangkan warga sejak awal tahun sembilan puluhan, di samping kopi dan durian. Meskipun pada masa konflik puluhan hektar perkebunan tersebut sempat terlantar, namun seiring perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia di Helsinki 15 Agustus 2005 lalu, kini petani sudah dapat kembali bekerja dengan aman.

Perkebunan kakao kini juga telah menjadi pertanian komoditas masyarakat Ulee Gunong dan menjadi sarana perekonomian utama dalam memenuhi kebutuhan hidup penduduk yang kian lama kian meningkat. Selain perawatan yang relatif lebih mudah dibandingkan tanaman tua lainnya, kakao juga dapat dipanen hampir setiap minggu sepanjang tahun. Untuk lahan produktif yang luasnya dua hektar, pendapatan petani bisa mencapai Rp 30-40 juta/tahun.

“Meski ada sebagian masyarakat yang bekerja sebagai pegawai negeri di sejumlah instansi dan sekolah, namun mereka semua juga memiliki kebun kakao yang produktif,” kata Kepala Desa Ulee Gunong, Muhammad Usman (40).

Seiring dengan masuknya sejumlah lembaga donor ke Aceh pasca musibah tsunami 24 Desember 2004, masyarakat di dataran tinggi tersebut juga mendapatkan dampak positif yang cukup menjajikan dengan adanya bantuan pembangunan gudang sekaligus tempat pengolahan kakao dengan kualitas tinggi dari seorang pengusaha kaya di Perancis yang menyalurkan bantuan melalui kedutaan besar Perancis.

Pembangunan gudang pengolahan dan pengeringan kakao itu dikerjakan secara swadaya oleh masyarakat setempat dengan biaya yang diberikan kedutaan Perancis. Dan diprediksikan pembangunan akan rampung dikerjakan pada bulan Agustus mendatang.

Sarimaulidin (48) penyuluh pertanian dan juga sebagai pelaksana program mengatakan, pabrik pengolahan kakao tersebut bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat petani yang kini dinilai masih sangat minim dan belum mampu memenuhi kebutuhan keluarga dengan baik.

“Di sini nantinya kakao akan diolah secara fermentasi atau pengeringan yang lebih baik, sehingga kadar air yang terdapat di dalam kakao akan lebih sedikit serta dapat tahan lama dibandingkan dengan cara tradisional. Jika sebelumnya petani hanya bisa mendapatkan kadar air sekitar 10 -12 persen, maka dengan sistem pengeringan yang baru meraka akan memperoleh kakao dengan kadar air delapan persen. Dan tentunya itu akan menjadikan harga yang ditawarkan juga lebih mahal, bahkan bisa mencapai Rp 25 ribu/kg,” kata Sarimaulidin.

Selain itu, keuntungan yang diperoleh dari proses pengeringan secara fermentasi tersebut juga akan dikembalikan kepada masyarakat petani, sehingga nantinya dapat menambah pendapatan ekonomi bagi 260 Kepala Keluarga (KK) di desa yang berjarak sekitar 60 kilometer dari Kota Beurunun itu.

“Gudang ini adalah milik masyarakat, jadi setiap keuntungan yang diperoleh dari tempat ini juga akan dikembalikan kepada masyarakat, termasuk hasil yang diperolah dari penjulan coklat yang telah difermentasi” kata pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris desa setempat.

Biji kakao yang nantinya telah melalui proses pengeringan tersebut direncanakan akan diekspor ke luar negeri pada bulan Sepetember mendatang, dikarenakan sejumlah pabrik coklat mulai menunjukkan niatnya untuk menampung komoditi yang dinilai memiliki kualitas yang sangat baik itu. “Dari hasil uji kelayakan tim ahli beberapa bulan lalu, mereka mengatakan jika kualitas kakao di Tangse sangat tinggi dan sangat cocok untuk diekspor, hal ini dikarenakan struktur tanah yang subur serta sistem penanaman yang tidak menggunakan pupuk kimia,” ujarnya.

Di samping pembangunan gudang, masyarakat yang bermukim di lintasan Sigli-Meulaboh tersebut juga mendapatkan dukungan dari lembaga lokal Kemang yang membantu pengembangan kebun coklat yang lebih luas dan lebih baik dengan menyediakan persediaan pangan dan bibit kepada petani mau menggarap lahannya.

“Masyarakat yang bekerja untuk membersihkan dan mengelola kebun kakao akan diberikan bantuan pangan secara cuam-cuma, setiap harinya selama Februari mereka akan dibantu satu kilogram beras dan tiga kilogram minyak goreng, program ini bertujuan menumbuhkan minat petani dalam memperluas dan meningkatkan produksi kakao di kebun mereka sendiri,” katanya.

“Jika saat ini penduduk di Desa Ulee Gunong hanya memiliki 360 hektar lahan, maka di masa mendatang kita akan mempunyai lahan kakao yang lebih luas dengan produksi yang melimpah dan dapat ditampung oleh sejumlah investor pertanian yang masuk ke Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD),” tambah lelaki berkumis dan murah senyum itu.

M. Husen (50) warga Ulee Gunong mengatakan, dirinya sangat senang dengan adanya dukungan dari lembaga asing dan lokal yang membantu warga dalam mengembangkan perkebunan kakao yang lebih baik serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang juga sempat mengungsi pada saat berlangsungnya konflik.

“Kalau kini saya hanya bisa mendapatkan penghasilan dari coklat senilai Rp 500 ribu/bulan, maka dengan adanya gudang yang mengolah biji kakao secara lebih moderen tersebut perekonomian keluarga saya juga akan lebih baik,” ungkapnya.

Hal senada juga dikatakan Imran Ismail (35), “Ini adalah program yang cukup membantu masyarakat kami yang perekonomiannya masih rendah, dan kalau bisa pembangunan gudang dapat selesai lebih cepat dari target, sehingga harga jual kakao petani juga akan lebih tinggi dari sebelumnya,” katanya.

Ia juga mengharapkan kiranya pemerintah dan akademisi yang berkompeten di bidang pertanian dapat lebih memerhatikan mereka terutama dalam memberikan penyuluhan dan inovasi baru bagi masyarakat dalam meningkatkan produktifitas kakao, tambah Imran sembari membersihkan kebun di halaman rumah.*** (Acun)

Dipublikasikan di Tabloid Sipil Edisi II (April 2008)