Sunday, September 1, 2013

Benarkah Wartawan Penghuni Neraka?

Oleh: Fachrur Rizha

Ketika membaca pemberitaan Harian Serambi Indonesia edisi Jumat (16/8). “Wartawan Laporkan Khatib Idul Fitri ke Polres”. Penulis sangat menyayangkan pernyataan dari Rektor Universitas Islam Tamiang (UIT), Muzakir Samidan yang mengatakan wartawan semua penghuni neraka karena menulis aib orang lain, seperti orang yang korupsi atau keburukan orang lain.

Sangat disayangkan ketika seorang akademisi berani mengeluarkan pernyataan tersebut di depan publik apalagi dalam prosesi khutbah shalat Ied. Terlebih mungkin ketika harus mengatakan sesuatu namun tidak mengerti sepenuhnya mengenai peran dan fungsi wartawan itu sendiri. Sebaiknya Rektor UIT tersebut membaca dan mencari tahu terlebih dahulu mengenai hakikat kineja wartawan itu sendiri dalam Islam.

Wartawan atau pers tentunya punya batasan sendiri dalam melaksanakan tugasnya untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Selain memiliki tanggungjawab terhadap kode etik dan undang-undang, tentunya wartawan juga mempunyai tanggungjawab kepada Tuhan terhadap apa yang dia sampaikan.

Selain empat fungsi pers yang sering kita dengar (menyampaikan informasi, mendidik, menghibur dan mempengaruhi). Dalam Islam sediri juga membagi fugsi pers pada empat antara lain, Mauaddib (mendidik), Mujaddid (pembaharu), Musyaddid (meluruskan), dan Muwahhid (pemersatu).

Dalam Islam sendiri wartawan merupakan bagian dari metode dakwah yang dikenal dengan dakwah bil kalam (dakwah dengan tulisan). Dakwah ini tentunya dengan menyampaikan sebuah fenomena atau kejadian kepada masyarakat luas untuk dapat diketahui oleh banyak. Coba saja banyangkan ketika fenomena seperti gempa atau banjir tidak diberitakan oleh wartawan, lalu bagaimana orang banyak bisa tahu dan mau memberikan bantuan? Belum lagi ketika kita menceritakan mengenai pembantaian kepada kaum muslimin di dunia, seperti yang saat ini terjadi di Mesir. Bagaimana dengan informasi tersebut bisa membuat kaum muslimin bersatu dan berempati kepada Ikhwanul Muslimin yang menjadi korban. Di sinilah wartawan menjalankan perannya sebagai Muwahhid (pemersatu).

Terkait dengan apa yang dikatakan oleh Rektor UIT, Muzakir Samidan, yang menilai wartawan dikatakan membuka aib dengan memberitakan kasus korupsi. Menurut penulis, bapak Rektor tersebut telah salah mengartikan apa yang dikatakan dengan aib yang boleh dan tidak boleh diberitakan. Kalau mungkin aib tersebut bersifat privasi dan itu tidak berkaitan dengan publik mungkin bisa dikatakan sebagai aib yang berdosa, namun bagaimana dengan aib yang menyangkut kemaslahatan orang banyak? Bukankah korupsi telah merugikan rakyat.

Terkait dengan hal tesebut, kembali kita lihat hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Muslim. “Dari Abu Sa’id Al Khudri r.a berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Siapa yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman”.

Berdasarkan hadist itu tampak jelas, jika wartawan menjalankan fungsinya dan dengan profesinya mencegah kemungkaran melalui tindakan atau dengan cara menulis. Sehingga ini akan menjadi pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukan korupsi yang sangat dilarang dalams Islam dan merupakan dosa besar.

Dalam memberitakan kasus korupsi pun wartawan tidak sembarangan menulis, ada ketentuan-ketentuan yang telah mengatur terkait nama baik. Ketika masih pemerikasaan atau dalam tahapan tersangka, maka wartawan juga akan menulis tersangka bukan dengan terdakwa. Karena kembali, wartawan bukan hakim dan polisi, sehingga menulis sesuatu pun harus berdasarkan keputusan hakim apakah masih kategori saksi, tersangka, atau terdakwa. Dalam menerima sebuah sebuah informasi pun, wartawan dalam Islam tentunya juga melihat dulu tingkat keberaran dan kredibilitas si pemberi informasi, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al Hujurat ayat 6 : Wahai orang-orang yang beriman. Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu.

Dalam Kode Etik Jurnalistik sendiri pun hal tersebut telah dituliskan pada butir keempat, yaitu wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Hal tersebut juga dibahas dalam Kode Etik AJI dan PWI. Selain itu dalam menjalankan tugasnya wartawan juga tidak luput dari pengawasan Dewan Pers. Di sinilah nantinya wartawan yang juga merupakan pilar keempat dari demokrasi, bisa mejalankan fungsinya dengan baik. Sebagaimana fungsi wartawan sebagai corong masyarakat untuk menyampaikan sebuah informasi yang benar.

Untuk itu, kiranya kita jangan salah mengartikan atau menilai kinerja wartawan dengan langsung menghukum kalau wartawan itu penyampai berita bohong, aib atau wartawan adalah penghuni neraka. Selain itu diharapkan kita dalam mengatakan sesuatu kiranya harus mengetahui dulu dengan baik profesi orang lain sebelum menyampaikan suatu pernyataan apalagi dihadapan orang banyak. ***

3 comments:

  1. Wadduuuhhhh
    gawat klo mmng knyataannya gtu...
    bsa drop minat mw jadi wartawan
    :-D

    ReplyDelete
  2. saya rasa mungkin rektor itu ada benarnya. benarnya dalam tindakan membuka aib orang lain. karena wartawan sekarang kurang ilmu yang dipelajari sehingga semuanya ditulis. seharusnya juga wartawan belajar lagi kode etik yang jelas dan dipahami dalam dirinya supaya citra wartawan yang lainnya tidak buruk dimata masyarakat.

    saya sebagai jurnalis independent, tetap bangga siapa itu wartawan (Y)

    ReplyDelete
  3. itu tergantung prinsipnya wartawan, tidak semua wartawan begitu

    ReplyDelete