Thursday, December 29, 2011

Kuda Pembawa Pesan Tsunami

Entah apa yang terlintas, seakan dini hari 26 Desember 2004 bagaikan malam yang penuh rahasia. Saat itu saya gusar hingga tidak bisa terlelap dan memilih untuk duduk sambil menonton film kurcaci di salah satu televisi swasta. Saya lakukan itu sembari menunggu subuh guna memenuhi janji dengan teman-teman untuk jogging ke Blang Padang.

Suara kuda tiba-tiba terdengar melintasi depan rumah saya yang yang terletak di Kampung Keuramat Kota Banda Aceh dan memecah kesunyian malam itu. Padahal selama ini tidak pernah ada kuda yang lewat. Meskipun ada warga yang memelihara kuda di pesisir pantai Syiah Kuala yang jaraknya cukup jauh dari rumah saya. Tidak lama berselang kembali terdengar suara nyaring binatang hingga beberapa menit yang tidak diketahui itu hewan apa. Namun setelah itu kesunyian kembali mewarnai malam yang ternyata menyimpan beribu misteri.

Keesokan paginya 26 Desember 2004, tepat setelah azan subuh seperti biasa pada hari-hari minggu yang lainnya, saya pun keluar rumah untuk bertemu teman-teman. Namun, di depan pintu pagar melihat ada kotoran kuda yang masih menumpuk, sehingga saya yakin jika suara kuda yang berlari tadi malam bukanlah ilusi. Tanpa tahu maksud sang kuda, saya pun bersama beberapa teman yang tinggal di kos-kosan rumah dan tetangga melakukan kegiatan rutin lari pagi menuju lapangan Blang Padang.

Masih tanpa ada firasat apapun, seperti biasa, setelah mengitari lapangan Blang Padang dua kali, kami istirahat sebentar untuk kemudian melanjutkan bermain basket dan sepak bola. Sambil menanti beberapa teman yang biasa bergabung untuk bermain bola, kami menyempatkan diri untuk melihat pelepasan peserta marathon yang dipusatkan di lapangan tersebut.

Tiba-tiba bumi terguncang sangat keras dan kami pun hanya saling menatap dan penuh kepanikan. Kemudian di depan saya ada seorang paruh baya yang tiba-tiba hampir pingsan ketika melihat runtuhnya Hotel Kuala Tripa yang terletak di depan kami. Gempa pun berhenti dan pria parun baya itu masih terduduk tanpa bisa berkata apa-apa. Saya dan seorang teman pun menghampirinya dan memberikan aqua gelas kepadanya. Kemudian paruh baya itu pun pamit untuk pulang lebih awal ingin melihat kondisi rumah dan keluarganya di esa Pungee.

Tanpa menunggu komando, saya dan teman-teman langsung bergerak untuk pulang, dengan berlari tanpa henti mengitari mulai dari Masjid Raya, Pasar Aceh, Pasar Peunayong hingga kembali ke rumah masing-masing di Kp Keuramat. Saat di jembatan pasar ikan Peunayong saya sempat memerhatikan air yang surut di Krueng Aceh, namun tidak tahu itu tanda apa. Dan bahkan kami sempat berhenti sejenak di depan Shoping Center Pasar Aceh untuk berdoa bersama yang dipimpin oleh seorang paruh baya yang ternyata itu juga terekam dibeberapa video amatir yang ditayangkan di televisi.

Setiba di rumah masing-masing. Saya sempat bercerita banyak kepada tetangga yang berkumpul mengenai beberapa bangunan runtuh yang saya lihat seperti Hotel Kuala Tripa, Toko Buku Zikra, dan beberapa pertokoan lainnya.

Hanya berselang beberapa menit, tiba-tiba bayak masyarakat berlarian di ruas jalan dari berbagai penjuru sambil berteriak “air laut naik… air laut naik…”. Saya hanya melihat kepanikan itu dan yang terlintas dipikiran saya kalau itu mungkin hanya air pasang laut. Namun ketika tiba-tiba saya melihat kenapa diruas jalan nuri dekat Masjid Al Ikhlas ada sebuah kapal yang datang dan makin lama semakin dekat, saya mulai berpikir ini kenapa, karena tidak mungkin kapal yang begitu besar bisa masuk ke pemukiman penduduk yang jaraknya sekitar 4 km dari tepi pantai.

Saya pun bergegas mengajak keluarga untuk menyelamatkan diri dengan mengedepankan menyelamatkan ibu dan adik perempuan terlebih dahulu dengan sepeda motor. Sementara saya dan yang lain termasuk beberapa anak kost memilih untuk berlari dengan berjalan kaki.

Suasana pun semakin panik. Semua orang berhamburan tanpa arah dan ucapan takbir dan tahmit keluar dari mulut-mulut orang yang terus berlari. Hingga saya pun sempat berpikir saya tidak akan selamat lagi, karena sebelumnya saya sempat melihat di televisi kedahsyatan tsunami yang terjadi dalam film The Day After Tomorrow dan dalam benak saya berpikir kalau ini pasti lebih dahsyat dan berlari pun hanya akan percuma.

Tiba-tiba dalam nuansa kepanikan, di ruas jalan menuju Lhoeng Bata saya bertemu dengan sepupu saya yang naik sepeda motor dengan istrinya yang keduanya tergolong gemuk. Entah bagaimana bisa kemudian saya juga naik dan duduk di depan bersama dua saudara saya itu dengan mengendarai sepeda motor Astrea Star yang begitu kecil dan ramping.

Akhirnya kami pun tiba di Montasik, dan sebelumnya saya juga sempat menumpang sepeda motor sepupu yang lainnya yang bertemu di lintasan Lambaro. Setelah sempat shalat Zuhur berjamaah di Desa Warabo Montasik yang merupakan desa asal orang tua saya. Di Meunasah tersebut saya juga sempat bercerita sedikit kepada jamaah yang bertanya mengenai apa yang terjadi. Namun semuanya tidak terbayang kalau kenyataannya lebih dahsyat dari cerita yang masih didengar dari mulut ke mulut itu.

Tepat pukul 13.30 WIB saya pun memutuskan untuk kembali ke rumah di Kampung Keuramat untuk melihat keluarga. Setiba di sana saya melihat begitu banyak mayat yang terapung dan bergelimpangan di jalan. Dengan air yang masih sepingang saya menuju rumah dan melihat abang saya Irfan dan beberapa tetangga serta anak kost di rumah saya sedang sibuk menyelamatkan beberapa orang yang membutuhkan bantuan akibat luka yang mereka alami, di sana lah saya melihat betapa cepatnya mereka memberikan bantuan layaknya posko kemanusiaan.

Setelah beberapa saat bersama, hujan pun turun dan kita memutuskan untuk mengungsi ke Tungkop dan Cot Keueng bersama beberapa orang lainnya dengan berjalan kaki. Sementara saya memilih mengungsi ke rumah nenek di Simpang Cot Peurabee atau menuju Cot Keueung. Di sanalah saya berharap bisa bertemu dengan beberapa suadara saya yang lain dan ibu. Alhamdulillah di hari kedua kami pun berkumpul setelah sebelumnya sempat berlarian dan menyelamatkan diri di lokasi yang berbeda diantaranya Jantho dan Mata Ie dan bahkan ada yang saat tsunami terjadi berada di Desa Lambada Lhok lintasan jalan menuju Krueng Raya.

Yang menjadi sebuah pengalaman lagi, sebelum ada yang mengatakan kalau itu tsunami saya telah mengatakan kepada beberapa teman kalau itu namanya tsunami sesuai yang pernah saya lihat pada film dokumenter yang ditayangkan Discovery Channel. Ternyata besoknya dalam beberapa siaran berita radio disebutkan kalau itu adalah tsunami.

Dalam keheningan malam pertama seteleh tsunami saya kembali teringat dengan apa yang pernah saya rasakan malam sebelum tsunami. Suara kuda dan suara nyaring binatang yang tidak tahu dari mana asalnya ternyata adalah salah satu tanda kalau hewan sudah mencoba memberikan pesan kepada manusia kalau akan terjadi bencana besar. Wallahu ya’lamu maala ta’lamun (sesungguhnya Allah maha mengetahui apa-apa yang tidak engkau ketahui).***

Telah dipubliksikan di www.serambinews.com edisi 27 Desember 2011.

No comments:

Post a Comment