Tuesday, April 29, 2008

Misi Menghilangkan Dendam

Bermodal dengkul, M Rasyid mendirikan pesantren khusus untuk anak-anak korban konflik. Selain dididik ilmu agama, santrinyajuga dianjurkan melupakan dendam masa lalu.

ALUNAN ayat suci Alquran terdengar merdu dari sebuah balai pengajian. Suaranya seolah bersahut. Ketika mendekati balai itu, sejumlah anak terlihat tekun mengaji Alquran. Rupa mereka berbagai macam corak. Dari pakaian yang mereka pakai terlihat jelas kesederhanaan hidup. umumnya peci yang dikenakan anak-anak itu terlihat mulai lusuh. Tidak lagi memperlihatkan warna aslinya.

Waktu mengaji telah selesai. Alquran mereka tutup. Bagaikan koor, mereka bershalawat. Lalu, dengan tertib mereka menuruni tangga balai yang terbuat dari bahan kayu itu. Beberapa bagian balai terlihat sudah melapuk.

Tak jauh dari balai itu, ada juga balai lain. Atapnya terbuat dari anyaman daun rumbia. Di dalamnya terdapat puluhan remaja yang sedang mempelajari kitabkitab aqidah dan fiqh. Mereka dipandu seorang teungku. Selesai membacakan kitab, sang teungku membimbing para santri berdiskusi tentang isi kitab itu.

Dayah Al-Hidayah. Begitu nama pondok pesantren tradisional di Desa Blang Teue, Kecamatan Blang Mangat, Lhokseumawe tersebut. Sebuah lembaga pendidikan agama yang kebanyakan santrinya merupakan anak-anak korban
konflik.

“Ayah saya meninggal pada masa konflik,” ungkap Saiful Mahri, salah seorang anak korban konflik yang kini bermukim di Dayah itu. Masih segar dalam ingatan Saiful kejadian pahit yang terjadi pada tahun 2000 silam.

Saat itu, sejumlah pria berpakaian hitam bersenjata api mencari ayahnya. Saiful tak paham apa kaitan ayahnya dengan tamu tak diundang itu. Tapi yang masih terekam dalam ingatannya adalah wajah-wajah garang tetamu bersenjata api. Katanya, di depan ibu dan saudaranya yang lain, ayahnya disiksa dengan kejam.

Tak lama setelah peristiwa itu ayah Saiful meninggal dunia. Hilang pula tulang punggung ekonomi keluarga. Ibunya tak dapat berbuat banyak, biaya hidup dan pendidikan Saiful dan adiknya tak mampu ditanggung.

“Saya ke sini atas pemintaan ibu karena beliau menginginkan saya untuk bisa terus belajar dan menjadi anak yang berguna bagi keluarga,” kata bocah kelahiran Matang Bugak, Kecamatan Panton Labu, Aceh Utara itu.

Kini sudah dua tahun Saiful tinggal di dayah itu. Adiknya yang sekarang duduk di bangku kelas I SD juga mukim di sana. “Karena ibu tidak mampu membiayai sekolah, maka sekarang kami diantar ke dayah ini. Selain karena tidak dipungut biaya, di sini kami juga diberi berbagai pengetahun agama, seperti mendalami kitab-kitab Islam,” ujarnya.

Meski demikian, di dalam dirinya tak terbesit rasa dendam untuk membalas pelaku peristiwa yang telah merenggut nyawa orang yang paling berharga dalam hidupnya. “Saya hanya memfokuskan diri untuk belajar dan menjadi anak yang berbakti kepada orang tua dan masyarakat,” ungkapnya lirih.

Bersama rekannya yang lain, setiap hari Saiful tekun belajar agama. Di dayah yang dipimpin M Rasyid bermukim 120 orang santri, 74 orang di antara mereka adalah anak-anak korban koflik. Selain itu, ada juga 38 orang penduduk miskin dan delapan orang anak korban tsunami.

Semua mereka ditampung di dayah yang memiliki fasilitas 30 bilik (kamar) terbuat dari papan. Hanya ada satu unit bagunan permanen, digunakan untuk tinggal santri putri. Untuk satu bilik, ditempati oleh lima sampai delapan orang santri.

Kerena jumlah kamar masih sangat terbatas, kata Rasyid, para santri terpaksa harus menginap dan tinggal berdesakan. “Tapi, saya salut, mereka semua tidak pernah mengeluh dengan kondisi seperti ini,” ujar Rasyid.

Yayasan yang didirikan sejak tahun 2002 itu diprakarsai Rasyid sendiri. Tujuannya, membantu pendidikan anak-anak kurang mampu di daerahnya. Pesantren yang terletak sekitar 300 meter dari bibir pantai itu juga mengajarkan para santri untuk mengahapus berbagai dendam yang merasuki jiwa mereka. Terutama terkait dampak konflik bersenjata yang membungkam Aceh hampir tiga puluh tahun.

“Yayasan ini saya bangun dengan biaya pribadi dan sumbangan masyarakat desa sini,” sebutnya seraya menunjukkan beberapa bangunan yang mulai terlihat lapuk. “Sebenarnya yayasan ini sudah ada sejak tahun 1980-an, tapi dalam bentuk balai kecil yang hanya digunakan untuk mengaji,” tambah Rasyid.

Meski dengan fasilitas dan dana terbatas, semangat Rasyid tak pernah pupus. Sampai kini dia masih mampu mengasuh para santrinya yang berasal dari seputar Lhoksemawe dan Aceh Utara. Selain mengajarkan ilmu agama, ia juga menyekolahkan para santri ke sekolah umum. Biaya pendidikan dan transportasi semuanya ditanggung oleh dayah.

Bantuan yang ada saat ini, katanya, tak sebanding dengan kebutuhan wajar untuk akomodasi dan transportasi santri untuk menuju sekolah. “Kami terpaksa menggunakannya seirit mungkin, agar dapat bertahan,” jelasnya.

Katanya, Pemerintah Kota Lhokseumawe mengalokasikan sejumlah dana ke dayah itu. Jumlahnya Rp 8.000 per hariuntuk seorang santri. Sedang untuk pengajar, hanya tujuh dari 13 pengajar yang ditanggung Pemkot, dengan honor sebesar Rp150.000 per bulan.

“Karena gaji yang dibayar Pemkot sangat terbatas, kami terpaksa mencari tambahan sendiri,” ungkap Mahdi, salah seorang guru pesantren. Jadi, lanjut Mahdi, pengajar di situ terpaksa membagi honor dari Pemkot secara sama rata. “Sekitar Rp80 ribu per guru,” aku Mahdi.

Rasyid tak ingin segala kendala menjadi hambatan baginya untuk mendidik generasi penerus Aceh itu. Bersama Istrinya, Faira, dia berupaya membuat dayah itu tetap pada misinya. Apa lagi, sudah 27 tahun mereka berumah tangga, tapi belum juga dikaruniai keturunan.

“Mereka sudah saya anggap sebagai anak kandung sendiri dan kami merasa sangat bahagia dengan lingkungan rumah yang setiap harinya dihiasi kegiatan agama,” katanya. Setiap hari, Rasyid menekankan kepada santrinya, untuk menghilangkan segala rasa dendam akibat kejadian yang menimpa keluarga anak-anak korban konflik.

Saiful mengaku selalu mengingat petuah gurunya itu. Segala prahara yang dilalui dalam hidup dimasa konflik berupaya dilupakannya. Sedikit pun tak terbesit rasa dendam untuk membalas peristiwa yang telah merenggut nyawa orang yang paling berharga dalam hidupnya itu.

Kata-kata Teungku selalu diingatnya. “Dendam itu tidak baik,” ujar Saiful mengulang kalimat yang kerap diucapkan teungku yang dihormatinya itu.

Suatu hari nanti dia ingin menjadi ulama yang dapat mengajarkan ilmu agama Islam kepada masyarakat yang membutuhkan. “Saya juga akan berupaya membantu mewujudkan perekonomian keluarga agar jadi lebih baik,” kata Saiful.

Balai pengajian telah sepi. Area dayah mulai senyap. Dari bilik-bilik kamar yang terbuat dari papan, para santri terdengar bersenda dengan rekannya. “Insya Allah, tak ada rasa sakit lagi, tidak juga dendam yang tersimpan di hati anak-anak kami,” ungkap Rasyid. ***( Acun)


Dipublikasikan di Tabloid Sipil Edisi I (Maret 2008)