Wednesday, September 3, 2008

Kembalikan Budaya dengan Al-Qur'an

Mungkin sudah menjadi hal yang lazim bagi kalangan masyarakat di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam (NAD) yang mayoritas penduduknya beragama Islam memiliki kitab suci Al-Qur’an. Baik itu yang dilengkapi dengan terjemahan maupun tidak.

Namun berbeda halnya dengan cetakan Al-Qur’an yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI) IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh yang menerbitkan Al-Qur’an terjemahan bebas bersajak dalam bahasa Aceh dan ditulis dengan huruf latin.

style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Terjemahan yang merupakan hasil karya dari salah seorang tokoh ulama terkemuka di Provinsi Aceh, Tgk. H Mahjidin Jusuf yang dengan bersusah payah mencoba memberikan terjemahan Al-Qur’an degan bahasa daerah dan dalam bentuk syair.

“Beliau menterjemahkan Al-Qur’an dalam bentuk tulisan bersajak bahasa Aceh itu menghabiskan waktu hingga 30 tahun dan dalam proses penerjemahanya almarhum juga tidak menggunakan kamus tertentu,” kata Hj. Rawiyah Banta yang merupakan istri Tgk. H Mahjiddin Jusuf.

Ketua penyunting edisi pertama Al-Yasa Abu Bakar menyebutkan, dalam proses penyuntingan tim senantiasa melakukan konsultasi dengan penerjemah guna tidak mengubah makna yang dimaksudkan serta memudahkan proses mentranskripsikan naskah ke dalam huruf latin.

Penerjemahan pertama yang dikerjakan penerjemah adalah dalam bentuk tulisan tangan Aceh Jawi, kemudian berdasarkan kesepakatan antara P3KI IAIN Ar-Raniry dengan H. Majiddin Jusuf maka dilakukan proses transkripsi dalam bentuk tulisan latin guna lebih memudahkan dalam pemacaan arti.

“Diskusi terakhir dengan Tgk. H Mahjiddin Jusuf berlangsung hanya beberapa hari sebelum beliau meninggal dunia. Jadi kami merasa sangat puas telah bekerja sesuai keinginan penerjemah serta tanpa mengubah maksud yang terkandung dalam tulisan awal,” ungkap Al-Yasa.

Mengenai penulisan yang digunakan Ketua tim penyunting edisi kedua, Abdul Gani Asyik mengatakan, bentuk penulisan yang digunakan dalam penerjemahan Al-Qur’an tersebut menggunakan ejaan yang dipopulerkan oleh Snouck Hougranje.

“Tulisan yang digunakan dalam penerjemahan adalah bentuk tulisan latin sehingga tidak lagi menggunakan tanda baca di atas huruf, sehingga lebih memudahkan proses penyuntingan. Dan ini juga telah disetujui oleh P3KI dalam bentuk seminar khusus serta telah dijadikan sebagai tulisan bahasa Aceh milik P3KI,” ujar Dosen pasca sarjana program bahasa Unsyiah itu.

Untuk proses penerjemahan tim P3KI mulai bekerja pada awal Ramadhan 1413 H atau April 1993 hingga September 1994. Dalam tahap ini tim penyunting bekerja mulai dari proses mentranskripsikan nashah, penyuntingan terjemahan, diskusi dengan penerjemah, pemerikasaan ejaan hingga pengoreksian final.

Al-Qur’an terjemahan bebas bersajak dalam bahasa Aceh tersebut diterbitkan dalam dua edisi. Edisi pertama diluncurkan pada akhir tahun 1995 oleh P3KI dengan dukungan penuh dari pemerintah daerah yang saat itu dijabat Syamsuddin Mahmud dengan jumlah cetakan 3.000 eksamplar untuk didistribusikan ke seluruh Aceh.

Namun disebabkan sangat tingginya animo masyarakat untuk memiliki Al-Qur’an terjemahan yang pada saat itu masih dicetak daam jumlah terbatas. Selian itu seiiring terjadinya musibah tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004 serta mulai hilangnya sejumlah cetakan Al-Qur’an terjemahan berbahasa Aceh dikalangan masyarakat.

P3KI bekerjasama dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD- Nias yang menyambut dengan antusias untuk membiayai cetak ulang terjemahan tersebut. Sehingga pada September 2007 dapat dilakukan peluncuran edisi kedua dengan jumlah yang lebih banyak yaitu 12.000 eksamplar.

Hamdiah A. Latief, Tim penyunting Al-Qur’an terjemahan bebas bersajak bahasa Aceh mengatakan, pada proses penyuntingan edisi kedua lebih diutamakan pada proses pengoreksian dan penyempurnaan ejaan bahasa Aceh.

“Seperti halnya penggunaan berapa kata seperti tulisan haleu menjadi haleue, juet menjadi jeuet, zakeut menjadi jakeuet, azeub menjadi adeueb, syarikat menjadi charikat dan faedah menjadi phaedah,” katanya.

Prose penyuntingan edisi kedua membutuhkan waktu sekitar lima bulan sampai masa siap cetak. Dalam proses percetakan tim penyunting juga ikut serta dalam proses mounting guna menghindari kesalahan letak ayat maupun makna serta membaca blueprint sebelum cetak.

Film Dokumenter

Selain menerbitkan Al-Qur’an terjemahan babas bersajak dalam bahasa Aceh pada tahun 2007 lalu. P3KI untuk tahun ini juga merencanakan meluncurkannya dalam bentuk film dokumenter yang dicetak dalam bentuk CD dengan mengutip beberapa ayat dan terjemahan tentang ayat-ayat pendidikan.

“Untuk CD pertama Al-Quran terjemahan bebas bersajak dalam bahasa Aceh kita hanya mengambil beberapa ayat yang menyangkut tentang pendidikan, antara lain Surat Al-Alaq ayat: 1-5, Lukman ayat: 12-19, Al-Isra ayat: 23-25 dan Al-Mujadilah ayat: 11,” kata Produser Film Abdul Rani Usman.

Untuk biaya percetakan CD Al-Qur’an terjemahan berbasa Aceh yang mengusung beberapa ayat mengenai pendidikan tersebut P3KI IAIN Ar-Raniry turut dibantu oleh PT Bank BPD Aceh yang berperan sebagai sponsorn dalam hal ini.

Proses pembuatan film dokumenter tersebut telah mulai dikerjakan sejak awal Agustus 2008 dan ditargetkan dapat diselesaikan pada awal September 2008, sehingga nantinya dapat dinikmati masyarakat Aceh pada awal bulan Ramadhan tahun ini.

Untuk proses pendistribusian, Abdul Rani menyebutkan, nantinya CD tersebut akan dibagikan ke seluruh Aceh, terutama untuk sekolah-sekolah dan tempat-tempat pengajian (dayah) guna mengenalkan kembali bahasa daerah kepada masyarakat.

“Dengan adanya CD Al-Qur’an terjemahan bahasa Aceh, masyarakat bisa kembali akrab dengan bahasa daerahnya. Selain itu, orang tua yang mungkin sedikit kurang bisa memahami bahasa Indonesia juga bisa lebih mudah mengerti berbagai makna yang terkandung dalam Al-Qur’an,” ujar pakar komunikasi di IAIN tersebut.

Sedangkan untuk lokasi pembuatan film, krue mengambil beberapa tempat yang cocok dan sesuai dengan makna yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an yang dibacakan seperti pengunungan Krueng Raya, Desa Lampanah Lengah Aceh Besar dan mesjid bersejarah di Indrapuri.

Lokasi yang menjadi objek film tersebut semuanya juga dikaitkan dengan budaya masyarakat Aceh baik itu dari segi pakaian yang digunakan maupun tempat seperti rumah adat Aceh yang memang benar-benar masih memperihatan seni ukiran khas daerah.

“Kita harapkan proses pembuatan film dokumenter ini dapat berjalan dengan baik dan nantinya bisa diterima dikalangan masyarakat serta sebagai upaya menyiarkan isi Al-Qur’an di kalangan rakyat Aceh yang kini menjadi satu-satunya daerah yang menerapkan Syariat Islam di Indonesia,” katanya. *** Acun



Telah dipublikasikan di Media Tabloid Sipil Edisi 11 2008

2 comments: