Oleh: Fachrur Rizha
Bagaimana kita mau mewujudkan Bandar Wisata Islami, jika warganya sendiri saja belum bisa menerapkan hukum Islam dengan baik
Banda Aceh, itulah sebutan dari kota yang terletak paling ujung pulau Sumatera. Kota yang dikenal dengan ibukota provinsi yang satu-satunya menerapkan syariat Islam di Indonesia ini kini mulai merancang langkah awal untuk menjadi wilayah yang berlandaskan hukum Allah, atau lebih dikenal dengan julukan “Bandar Wisata Islami”.
Sejumlah perkantoran yang dihiasi dengan huruf arab jawo, papan imbauan masyarakat, hiasan lampu yang bertuliskan Asma Ul-Husna, hingga penempatan polisi syariat (Wilayatul Hisbah) di setiap sudut kota pun mulai dilaksanakan pemerintah guna mewujudkan kota yang benar-benar berbau Islami sesuai dengan julukannya “Serambi Mekkah”.
Namun yang masih menjadi pertanyaan bagi setiap pendatang maupun warganya saat ini, apakah Kota Banda Aceh mampu menjadi Bandar Wisata Islami jika setiap waktu menjelang magrib masih banyak terlihat muda-mudi yang lalu lalang serta tidak menghiraukan panggilan Sang Khalik hanya untuk bersendagurau di cafe-cafe pinggir jalan. Sama juga halnya dengan yang lebih tua, saat itu mereka memilih untuk duduk dan berkumpul di warung-warung kopi. Di mana syariat Islam itu?
Belum lagi, sejumlah tempat wisata kota yang kerap dijadikan lokasi pacaran atau berdua-duaan bagi yang bukan muhrim. Lalu, di mana pula nuansa islami yang kerap kali dibangga-banggakan oleh sejumlah pejabat dan warganya. Ataukah hanya sekedar penempatan nama?
Hal inilah sebenarnya yang harus kembali direnungkan bersama. Bagaimana kita mau mewujudkan Bandar Wisata Islami, jika warganya sendiri saja belum bisa menerapkan hukum Islam dengan baik. Bagaimana mungkin kita mengajak orang lain (pengunjung) untuk berwisata Islami kalau kita sendiri saja belum islami.
Saya juga kembali teringat dengan pernyataan anggota DPRD Depok yang melakukan kunjungan sekaligus studi banding terhadap penerapan syariat Islam dan qanun di Aceh yang kini memiliki wewenang kedaerahan yang jauh lebih tinggi dibandingkan provinsi lain di Indonesia.
“Sebelum tiba di sini, dalam benak saya sempat terbayangkan jika suasana masyarakat di Aceh akan kental dengan budaya Islam. Tapi setiba di Banda Aceh, dalam perjalanan menuju penginapan yang saat itu sudah masuk waktu magrib. Saya melihat begitu banyak muda-mudi yang duduk santai di atas trotoar jalan, padahal di masjid-masjid sedang mergema suara azan”.
Bagaimana pendapat kita dengan pernyataan anggota legislatif tersebut. Apakah kita hanya akan berdiam diri saja dan menganggapnya sebagai angin lalu. Atau bahkan kita semua merasa malu dengan simbol yang selama ini kita bangga-banggakan namum kenyataan malah mendapat nilai yang negatif dari orang lain dan hanya akan menjadi aib.
Semua ini tentunya harus manjadi renungan dan tugas bagi kita semua, baik pejabat maupun warganya yang benar-benar ingin mewujudkan Kota Banda Aceh sebagai daerah Badar Wisata Islami pertama di Indonesia serta akan menjadi contoh. Bukan malah hanya simbol yang akhirnya menjadi bumerang yang dapat mencemarkan nama baik yang telah sekian abad dirintis. []
Banda Aceh, itulah sebutan dari kota yang terletak paling ujung pulau Sumatera. Kota yang dikenal dengan ibukota provinsi yang satu-satunya menerapkan syariat Islam di Indonesia ini kini mulai merancang langkah awal untuk menjadi wilayah yang berlandaskan hukum Allah, atau lebih dikenal dengan julukan “Bandar Wisata Islami”.
Sejumlah perkantoran yang dihiasi dengan huruf arab jawo, papan imbauan masyarakat, hiasan lampu yang bertuliskan Asma Ul-Husna, hingga penempatan polisi syariat (Wilayatul Hisbah) di setiap sudut kota pun mulai dilaksanakan pemerintah guna mewujudkan kota yang benar-benar berbau Islami sesuai dengan julukannya “Serambi Mekkah”.
Namun yang masih menjadi pertanyaan bagi setiap pendatang maupun warganya saat ini, apakah Kota Banda Aceh mampu menjadi Bandar Wisata Islami jika setiap waktu menjelang magrib masih banyak terlihat muda-mudi yang lalu lalang serta tidak menghiraukan panggilan Sang Khalik hanya untuk bersendagurau di cafe-cafe pinggir jalan. Sama juga halnya dengan yang lebih tua, saat itu mereka memilih untuk duduk dan berkumpul di warung-warung kopi. Di mana syariat Islam itu?
Belum lagi, sejumlah tempat wisata kota yang kerap dijadikan lokasi pacaran atau berdua-duaan bagi yang bukan muhrim. Lalu, di mana pula nuansa islami yang kerap kali dibangga-banggakan oleh sejumlah pejabat dan warganya. Ataukah hanya sekedar penempatan nama?
Hal inilah sebenarnya yang harus kembali direnungkan bersama. Bagaimana kita mau mewujudkan Bandar Wisata Islami, jika warganya sendiri saja belum bisa menerapkan hukum Islam dengan baik. Bagaimana mungkin kita mengajak orang lain (pengunjung) untuk berwisata Islami kalau kita sendiri saja belum islami.
Saya juga kembali teringat dengan pernyataan anggota DPRD Depok yang melakukan kunjungan sekaligus studi banding terhadap penerapan syariat Islam dan qanun di Aceh yang kini memiliki wewenang kedaerahan yang jauh lebih tinggi dibandingkan provinsi lain di Indonesia.
“Sebelum tiba di sini, dalam benak saya sempat terbayangkan jika suasana masyarakat di Aceh akan kental dengan budaya Islam. Tapi setiba di Banda Aceh, dalam perjalanan menuju penginapan yang saat itu sudah masuk waktu magrib. Saya melihat begitu banyak muda-mudi yang duduk santai di atas trotoar jalan, padahal di masjid-masjid sedang mergema suara azan”.
Bagaimana pendapat kita dengan pernyataan anggota legislatif tersebut. Apakah kita hanya akan berdiam diri saja dan menganggapnya sebagai angin lalu. Atau bahkan kita semua merasa malu dengan simbol yang selama ini kita bangga-banggakan namum kenyataan malah mendapat nilai yang negatif dari orang lain dan hanya akan menjadi aib.
Semua ini tentunya harus manjadi renungan dan tugas bagi kita semua, baik pejabat maupun warganya yang benar-benar ingin mewujudkan Kota Banda Aceh sebagai daerah Badar Wisata Islami pertama di Indonesia serta akan menjadi contoh. Bukan malah hanya simbol yang akhirnya menjadi bumerang yang dapat mencemarkan nama baik yang telah sekian abad dirintis. []
Salam Warga.
ReplyDeleteMohon Maaf Pak Acun,
mau informasikan situs jurnalisme warga baru.
www.portalaceh.com
Portal Jurnalisme Warga, dari warga untuk warga, khusus membahas isu
dan persoalan Aceh.
situs ini terbuka untuk umum, tidak hanya dikhususkan untuk warga Aceh
saja, tetapi juga semua warga.
Hanya saja, persoalannya dibatasi seputar persoalan Aceh.
Punya tulisan, tentang Aceh dan yang berkaitan dengan Aceh? silahkan
tulis di www.PortalAceh.com
Untuk saat ini, rubrik yang disediakan adalah:
Politik, Kesehatan, Pendidikan, Teknologi, Opini, Gaya Hidup, Olah Raga, dll.
rubrik di atas akan terus bertambah seiring dengan permintaan anggotanya.
Situs ini masih dalam pengembangan,
kritik dan saran sangat dibutuhkan untuk perbaikan.
Terima kasih
Tim Admin
www.PORTALaceh.com
salam pak
ReplyDeletemakasih banyak ya atas infonya
:)
salam tuk kanda..
ReplyDeletemantrap that tulisan..
teteeeeep.. rindu Aceh...
ReplyDeletekpn ya bisa kesana...