Thursday, July 3, 2008

Riwayat Kampung Golok


Irama nyaring yang dihasilkan benturan benda keras seakan tidak lagi memekakkan telinga penduduk Dusun Kuta Blang, Desa Kuta Baroe, Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Selatan yang sebagian besar kaum lelakinya bekerja sebagai pandai besi atau pengrajin parang (golok) dan sejenisnya.

Dusun yang berpenduduk 52 Kepala Keluarga (KK) ini merupakan salah satu pusat penghasil kerajianan besi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Bahkan kini hasil karya mereka telah merambah dan dipasarkan ke sejumlah kota seperti Blang Pidie, Calang, Meulaboh bahkan tidak jarang ditemui di Banda Aceh.

Tidak lagi menjadi hal yang aneh jika pada pagi hingga sore hari sangat jarang terlihat warga yang laki-laki di jalan atau warung-warung, karena mereka semua sedang sibuk dengan pekerjaannya untuk mengubah batangan besi menjadi barang yang bermanfaat bagi masyarakat.

Selain bekerja sebagai pandai besi, masyarakat setempat juga menyempatkan diri dan membangi waktu untuk mengelola lahan pertanian seperti kebun cengkeh, coklat dan pala serta menggarap areal sawah untuk ditanami padi guna mencukupi kebutuhan pokok keluarga.

Seperti halnya Abdullah (50) penduduk Dusun Kuta Blang yang telah menggeluti pekerjaan sebagai pandai besi sejak tiga puluh tahun lalu dan kini pekerjaan tersebut telah menjadi sumber penghasilan utama dalam mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari dan menyekolahkan lima anaknya.

“Meskipun penghasilan dari profesi sebagai pembuat parang tidak terlalu banyak, bahkan bisa dikatakan masih sangat minim di bandingkan yang lain, namun alhamdulillah saya masih dapat membiayai kuliah dan sekolah anak-anak,” ujarnya.

Kesibukan masyarakat setempat sebagai pandai besi telah berlangsung sejak puluhan tahun lalu yang dimulai dari satu tempat yang dikelola seorang penduduk yang kemudian turut memperkerjakan warga Dusun Kuta Blang guna membantu pendapatan dan perekonomian masyarakat yang bermukim di antara deretan pengunungan yang tinggi dan hamparan laut tersebut.

Seiring dengan berjalannya waktu usaha inipun semakin hari terus berkembang dengan lahirnya tempat-tempat baru yang dibangun oleh pandai besi yang memiliki modal dan sudah merasa cukup mandiri membangun tempat baru di lingkungan rumah mereka.

Mulai dari sanalah usaha pengrajin parang semakin berkembang dan terus diwariskan kepada anak cucu mereka. Bahkan saat ini di Dusun Kuta Blang telah terdapat sembilan tempat pengolahan besi menjadi peralatan pertanian dan rumah tangga yang dikelola mulai dari dua hingga lima orang.

“Sejak mulai pertama sekali memasuki lorong menuju ke dusun ini setiap orang pasti dapat langsung melihat aktivitas pandai besi yang sedang bekerja dengan sejumlah peralatan sederhana dan gubuk beratapkan rumbia bahkan sebagian mulai tampak tidak layak lagi dijadikan tempat berteduh lagi,” katanya seraya menggosok mata parang yang telah jadi.

Untuk aktivitas rutin, biasanya para pandai besi di dusun setempat tidak bekerja setiap hari, melainkan hanya empat hingga lima hari dalam seminggu, sedangkan sisanya mereka pergunakan untuk pergi ke sawah maupun kebun yang di sebelumnya telah di garap.

Parang atau hasil kerajinan besi lainnya yang dihasilkan di dusun tersebut juga memiliki ciri khas tertentu, yaitu di tiap sudutnya tertulis LB (Lam Blang) yang merupakan merek yang menunjukkan barang tersebut dihasilkan oleh masyarakat dari Dusun Kuta Blang.

Dalam memproduksi parang tersebut tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan, mulai dari membeli arang, besi, kayu gagang hingga arus listrik yang rata-rata membutuhkan dana total hingga Rp 800 ribu perbulan. Sedangkan keutungan yang diperolah dari penjualan perbulannya hanya Rp 600 -700 ribu perorang.

“Terkadang untuk mencukupi modal dalam membeli bahan kami sedikit kewalahan terlebih dengan semakin naiknya harga bahan baku seperti besi dan arang, namun karena ini sudah menjadi keahlian kami, terpaksa kita harus jalani juga,” jelas pria ramah dan mudah senyum tersebut.

Menyangkut proses pembuatannya, kata Abdullah, membutuhkan waktu yang tidak sedikit, untuk satu parang menghabiskan waktu hingga satu jam, yang dimulai dari pembakaran, pengetokan, hingga memasang gagang dan mengasahnya dengan gerenda mesin.

“Saat ini saya hanya berkerja berdua dengan Nasruddin (55) yang juga pemilik tempat dan penyedia modal. Dan dalam sehari biasanya kami dapat menyelesaikan delapan hingga sembilan parang, tapi terkadang jika ada yang kurang sehat, hasil yang diperolehpun akan lebih sedikit,” katanya.

Harga Jual Masih Sangat Rendah

Abdullah mengatakan, parang dan jenis benda tajam lainnya yang mereka hasilkan nantinya akan dijual kepada pedagang pengumpul yang datang ke tempat produksi dengan harga Rp 20.000. Namun menurut mereka itu dinilai masih terlalu rendah dan belum sesuai dengan modal dan tenaga yang harus dikeluarkan setiap harinya.

“Jika dibandingkan proses pembuatan dan bahan yang diperlukan kiranya harga yang kita tawarkan untuk pedagang pengumpul masih terlalu murah, sedangkan biaya hidup dan belanja keluarga semakin lama semakin mahal. Dan bila harga jual bisa mencapai Rp 30.000 - 40.000 perparang maka akan dapat lebih membantu pendapatan para pandai besi di dusun ini,” katanya.

Untuk itu dia sangat mengharapkan ke depan harga beli parang bisa lebih tinggi di bandingkan saat ini, selain membantu para pengarajin, hal tersebut juga akan membangkitkan keinginan pemuda di dusun tersebut untuk terus mengembangkan usaha pembuatan parang yang lebih baik serta akan memperkecil angka penganguran di lingkungan masyarakat.

Hal senada juga diungkapkan, Darmi (25) pandai besi lainnya, menurut dia sudah sepantasnya harga jual parang dan sejenisnya tersebut jauh lebih baik dan tidak terus menerus dengan harga yang sama sejak beberapa tahun lalu.

“Pastinya semua pandai besi di sini mengharapkan harga jual yang lebih baik, karena bagaimanapun profesi ini telah menjadi sumber pedapatan ekonomi yang diwariskan secara turun menurun dan menjadi penopang hidup masyarakat Kuta Blang,” kata pemuda yang kini masih menempuh pendidikan di salah satu perguraun tinggi swasta di Kota Tapak Tuan.

Belum Tersentuh Bantuan Pemerintah

Meskipun profesi sebagai pandai besi dan hasil kerajinan parang telah digeluti warga dusun Kuta Blang sejak puluhan tahun lalu, namun hingga kini mereka belum pernah merasakan adanya sentuhan maupun perhatian dari pemerintah setempat dalam meningkatkan usaha ini ke arah yang lebih baik.

Hal inilah yang senantiasa membuat masyarakat setempat merasa sangat kecewa, terlebih mengingat pekerjaan masyarakat kini telah menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi wisatawan maupun masyarakat luar Aceh. Ini terbukti dengan semakin banyaknya warga negara asing yang datang untuk mendokumentasikan maupun sekedar ingin mengetahui lebih jauh hasil kerajinan masyarakat Kuta Blang itu.

“Sebenarnya masyarakat yang kesehariannya bekerja sebagai pandai besi di sini sangat membutuhkan uluran tangan dari pemerintah, terutama menyangkut bantuan modal dan prasarana lainnya seperti alat dan tempat berteduh yang lebih baik, tidak seperti sekarang atap mulai bocor dan tiangnya pun mulai miring sehingga sangat mengganggu bila memasuki musim hujan,” harap Abdullah.

Nasruddin (55) rekan kerja Abdullah yang juga pemilik tempat pembuatan parang mengeluhkan sikap sejumlah instansi yang pernah berkunjung dan menjanjikan akan adanya bantuan dengan cara memotret dan mengambil data dari mereka, namun kenyataannya hal tersebut tidak pernah terealisasi hingga saat ini.

Demikian pula halnya dengan tawaran yang pernah disampaikan kepada masyarakat pandai besi di Kuta Blang untuk mengajukan proposal kepada pemerintah setempat, namun lagi-lagi hal tersebut hanya sebatas janji yang akhirnya hanya akan melahirkan kekecewaan bagi warga yang bermukim sekitar 25 km dari ibukota Aceh Selatan, Tapak Tuan.

“Saat ini sepertinya harapan kepada pemerintah secara perlahan mulai hilang seiring tidak terealisasikannya sejumlah janji-janji yang diucapkan. Jadi lebih baik kami tidak lagi mengingatnya dari pada nanti hanya akan membuat sakit hati saja,” ujar Nasruddin sambil memegang besi yang sudah mulai memerah untuk diketok bersama Abdullah hingga membentuk sebilah parang.

Menyikapi telah terpilihnya pemimpin daerah yang baru, meraka hanya bisa berharap kiranya bupati dan wakil bupati yang dipilih rakyat beberapa waktu lalu secara langsung tersebut nantinya benar-benar memperhatikan keluhan dan kondisi masyarakat kalangan bawah, termasuk yang saban harinya berprofesi sebagai pandai besi. *** Acun

Dipublikasi di Tabloid Sipil Edisi 5 (Mei 2008)

No comments:

Post a Comment