Friday, November 28, 2008

Bandar Wisata Islami, Apakah Hanya Simbol?

















Oleh: Fachrur Rizha

Bagaimana kita mau mewujudkan Bandar Wisata Islami, jika warganya sendiri saja belum bisa menerapkan hukum Islam dengan baik

Banda Aceh, itulah sebutan dari kota yang terletak paling ujung pulau Sumatera. Kota yang dikenal dengan ibukota provinsi yang satu-satunya menerapkan syariat Islam di Indonesia ini kini mulai merancang langkah awal untuk menjadi wilayah yang berlandaskan hukum Allah, atau lebih dikenal dengan julukan “Bandar Wisata Islami”.

Wednesday, November 19, 2008

Caleg atau Capeng?



Oleh; Fachrur Rizha

"Sebenarnya apa yang mereka cari, Caleg (Calon legislatif) atau malah hanya ingin menjadi capeng (Cari peng= uang dalam bahasa Aceh).

Pernah suatu ketika saya berjumpa teman lama di salah satu sudut Kota Banda Aceh yang terus berbenah. Saat itu kami sempat berbincang-bincang mengenai berbagai hal, mulai masa kecil hingga persiapan melanjutkan pendidikan masters. Namun yang paling menarik dari pembicaraan kami adalah mengenai perkembangan perpolitikan di Indonesia yang kini tengah mempersiapkan pemilu 2009 mendatang.

Wednesday, September 3, 2008

Kembalikan Budaya dengan Al-Qur'an

Mungkin sudah menjadi hal yang lazim bagi kalangan masyarakat di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam (NAD) yang mayoritas penduduknya beragama Islam memiliki kitab suci Al-Qur’an. Baik itu yang dilengkapi dengan terjemahan maupun tidak.

Tuesday, August 5, 2008

Masjid Sejuta Kisah


Aceh merupakan daerah yang dikenal sebagai tempat pertama kali berkembangnya ajaran Islam di Indonesia bahkan Asia Tenggara. Salah satu peninggalan sejarah yang menggambarkan kejayaan Islam di Aceh adalah bangunan Masjid Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar.

Menurut riwayat sejarah, Indrapuri dulunya merupakan sebuah kerajaan yang didirikan masyarakat terdahulu di Aceh. Asal mula kerajaan tersebut dari salah seorang adik perempuan putra Harsha dari India yang suaminya terbunuh dalam peperangan yang dilancarkan oleh bangsa Huna pada tahun 604 M.

Setibanya di Aceh dari pelarian tersebut Putri kerajaan mendirikan sebuah kerajaan yang kini dikenal dengan sebutan Indrapuri. Hal tersebut diperkuat dengan fakta jika didekat Indrapuri terdapat perkampungan yang dulunya dihuni masyarakat beragama hindu yaitu di desa Tanoh Abei serta sejumlah kuburan Hindu di seputaran Indrapuri.

Tuesday, July 15, 2008

BBM = Bikin Bingung Melulu

Naiknya harga minyak dunia pada pertengahan tahun 2008 kembali membuat pemerintah menjadi bingung dan serba salah. Keinginan yang juga dinggap sebagai suatu keharusan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) ternyata kembali menimbulkan kontroversi diberbagai kalangan masyarakat. Mulai dari sopir angkuatan, ibu rumah tangga hingga ribuan mahasiswa pun secara serentak menggelar aksi unjukrasa menuntut pemerintah membatalkan keinginan tersebut.

Unjukrasa dan kerusuhanpun tak bisa dielakkan. Sehingga pemerintah kita terpaksa kembali harus menerjunkan ribuan personil keamanan untuk menjaga kenyamanan dan ketenangan pejabat dari tangisan dan jeritan rakyatnya yang mulai kebingungan memikirkan masa depan mereka yang semakin terjepit.

<span style=""

Thursday, July 3, 2008

Riwayat Kampung Golok


Irama nyaring yang dihasilkan benturan benda keras seakan tidak lagi memekakkan telinga penduduk Dusun Kuta Blang, Desa Kuta Baroe, Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Selatan yang sebagian besar kaum lelakinya bekerja sebagai pandai besi atau pengrajin parang (golok) dan sejenisnya.
Free Port Sabang - Kawasan free port Kota Sabang yang telah dicanangkan kembali sejak beberapa tahun yang lalu kini hanya menjadi idaman dan impian. Bahkan hingga kini kawasan ini masih tampak sepi dari pengunjung dan pendaratan kapal-kapal yang meintas. (Foto: Acun/2008)




















Rumah Air - Ratusan rumah bantuan korban tsunami yang dibangun di desa Kuala Bubon, Kecamatan Samatiga, Aceh Barat yang merupakan bantuan dari salah satu lembaga donor di Aceh kini sudah rampung serta menimbukan daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang melintas. (Foto: Acun/2008)

Wednesday, May 7, 2008

Lhok Pawoh : Menyatukan Aroma Gunung dan Pantai

Pemandian air dingin, begitulah sebutan kawasan wisata yang terletak di desa Lhok Pawoh, Kecataman Sawang, Kabupaten Aceh Selatan. Objek wisata yang tiap harinya ramai dikunjungi masyarakat setempat maupun pendatang ini memiliki area pemandian yang luas, air yang dingin serta panorama alam pegunungan yang indah dan memberi kesegaran.

Tuesday, April 29, 2008

Misi Menghilangkan Dendam

Bermodal dengkul, M Rasyid mendirikan pesantren khusus untuk anak-anak korban konflik. Selain dididik ilmu agama, santrinyajuga dianjurkan melupakan dendam masa lalu.

ALUNAN ayat suci Alquran terdengar merdu dari sebuah balai pengajian. Suaranya seolah bersahut. Ketika mendekati balai itu, sejumlah anak terlihat tekun mengaji Alquran. Rupa mereka berbagai macam corak. Dari pakaian yang mereka pakai terlihat jelas kesederhanaan hidup. umumnya peci yang dikenakan anak-anak itu terlihat mulai lusuh. Tidak lagi memperlihatkan warna aslinya.

Waktu mengaji telah selesai. Alquran mereka tutup. Bagaikan koor, mereka bershalawat. Lalu, dengan tertib mereka menuruni tangga balai yang terbuat dari bahan kayu itu. Beberapa bagian balai terlihat sudah melapuk.

Tak jauh dari balai itu, ada juga balai lain. Atapnya terbuat dari anyaman daun rumbia. Di dalamnya terdapat puluhan remaja yang sedang mempelajari kitabkitab aqidah dan fiqh. Mereka dipandu seorang teungku. Selesai membacakan kitab, sang teungku membimbing para santri berdiskusi tentang isi kitab itu.

Dayah Al-Hidayah. Begitu nama pondok pesantren tradisional di Desa Blang Teue, Kecamatan Blang Mangat, Lhokseumawe tersebut. Sebuah lembaga pendidikan agama yang kebanyakan santrinya merupakan anak-anak korban
konflik.

“Ayah saya meninggal pada masa konflik,” ungkap Saiful Mahri, salah seorang anak korban konflik yang kini bermukim di Dayah itu. Masih segar dalam ingatan Saiful kejadian pahit yang terjadi pada tahun 2000 silam.

Saat itu, sejumlah pria berpakaian hitam bersenjata api mencari ayahnya. Saiful tak paham apa kaitan ayahnya dengan tamu tak diundang itu. Tapi yang masih terekam dalam ingatannya adalah wajah-wajah garang tetamu bersenjata api. Katanya, di depan ibu dan saudaranya yang lain, ayahnya disiksa dengan kejam.

Tak lama setelah peristiwa itu ayah Saiful meninggal dunia. Hilang pula tulang punggung ekonomi keluarga. Ibunya tak dapat berbuat banyak, biaya hidup dan pendidikan Saiful dan adiknya tak mampu ditanggung.

“Saya ke sini atas pemintaan ibu karena beliau menginginkan saya untuk bisa terus belajar dan menjadi anak yang berguna bagi keluarga,” kata bocah kelahiran Matang Bugak, Kecamatan Panton Labu, Aceh Utara itu.

Kini sudah dua tahun Saiful tinggal di dayah itu. Adiknya yang sekarang duduk di bangku kelas I SD juga mukim di sana. “Karena ibu tidak mampu membiayai sekolah, maka sekarang kami diantar ke dayah ini. Selain karena tidak dipungut biaya, di sini kami juga diberi berbagai pengetahun agama, seperti mendalami kitab-kitab Islam,” ujarnya.

Meski demikian, di dalam dirinya tak terbesit rasa dendam untuk membalas pelaku peristiwa yang telah merenggut nyawa orang yang paling berharga dalam hidupnya. “Saya hanya memfokuskan diri untuk belajar dan menjadi anak yang berbakti kepada orang tua dan masyarakat,” ungkapnya lirih.

Bersama rekannya yang lain, setiap hari Saiful tekun belajar agama. Di dayah yang dipimpin M Rasyid bermukim 120 orang santri, 74 orang di antara mereka adalah anak-anak korban koflik. Selain itu, ada juga 38 orang penduduk miskin dan delapan orang anak korban tsunami.

Semua mereka ditampung di dayah yang memiliki fasilitas 30 bilik (kamar) terbuat dari papan. Hanya ada satu unit bagunan permanen, digunakan untuk tinggal santri putri. Untuk satu bilik, ditempati oleh lima sampai delapan orang santri.

Kerena jumlah kamar masih sangat terbatas, kata Rasyid, para santri terpaksa harus menginap dan tinggal berdesakan. “Tapi, saya salut, mereka semua tidak pernah mengeluh dengan kondisi seperti ini,” ujar Rasyid.

Yayasan yang didirikan sejak tahun 2002 itu diprakarsai Rasyid sendiri. Tujuannya, membantu pendidikan anak-anak kurang mampu di daerahnya. Pesantren yang terletak sekitar 300 meter dari bibir pantai itu juga mengajarkan para santri untuk mengahapus berbagai dendam yang merasuki jiwa mereka. Terutama terkait dampak konflik bersenjata yang membungkam Aceh hampir tiga puluh tahun.

“Yayasan ini saya bangun dengan biaya pribadi dan sumbangan masyarakat desa sini,” sebutnya seraya menunjukkan beberapa bangunan yang mulai terlihat lapuk. “Sebenarnya yayasan ini sudah ada sejak tahun 1980-an, tapi dalam bentuk balai kecil yang hanya digunakan untuk mengaji,” tambah Rasyid.

Meski dengan fasilitas dan dana terbatas, semangat Rasyid tak pernah pupus. Sampai kini dia masih mampu mengasuh para santrinya yang berasal dari seputar Lhoksemawe dan Aceh Utara. Selain mengajarkan ilmu agama, ia juga menyekolahkan para santri ke sekolah umum. Biaya pendidikan dan transportasi semuanya ditanggung oleh dayah.

Bantuan yang ada saat ini, katanya, tak sebanding dengan kebutuhan wajar untuk akomodasi dan transportasi santri untuk menuju sekolah. “Kami terpaksa menggunakannya seirit mungkin, agar dapat bertahan,” jelasnya.

Katanya, Pemerintah Kota Lhokseumawe mengalokasikan sejumlah dana ke dayah itu. Jumlahnya Rp 8.000 per hariuntuk seorang santri. Sedang untuk pengajar, hanya tujuh dari 13 pengajar yang ditanggung Pemkot, dengan honor sebesar Rp150.000 per bulan.

“Karena gaji yang dibayar Pemkot sangat terbatas, kami terpaksa mencari tambahan sendiri,” ungkap Mahdi, salah seorang guru pesantren. Jadi, lanjut Mahdi, pengajar di situ terpaksa membagi honor dari Pemkot secara sama rata. “Sekitar Rp80 ribu per guru,” aku Mahdi.

Rasyid tak ingin segala kendala menjadi hambatan baginya untuk mendidik generasi penerus Aceh itu. Bersama Istrinya, Faira, dia berupaya membuat dayah itu tetap pada misinya. Apa lagi, sudah 27 tahun mereka berumah tangga, tapi belum juga dikaruniai keturunan.

“Mereka sudah saya anggap sebagai anak kandung sendiri dan kami merasa sangat bahagia dengan lingkungan rumah yang setiap harinya dihiasi kegiatan agama,” katanya. Setiap hari, Rasyid menekankan kepada santrinya, untuk menghilangkan segala rasa dendam akibat kejadian yang menimpa keluarga anak-anak korban konflik.

Saiful mengaku selalu mengingat petuah gurunya itu. Segala prahara yang dilalui dalam hidup dimasa konflik berupaya dilupakannya. Sedikit pun tak terbesit rasa dendam untuk membalas peristiwa yang telah merenggut nyawa orang yang paling berharga dalam hidupnya itu.

Kata-kata Teungku selalu diingatnya. “Dendam itu tidak baik,” ujar Saiful mengulang kalimat yang kerap diucapkan teungku yang dihormatinya itu.

Suatu hari nanti dia ingin menjadi ulama yang dapat mengajarkan ilmu agama Islam kepada masyarakat yang membutuhkan. “Saya juga akan berupaya membantu mewujudkan perekonomian keluarga agar jadi lebih baik,” kata Saiful.

Balai pengajian telah sepi. Area dayah mulai senyap. Dari bilik-bilik kamar yang terbuat dari papan, para santri terdengar bersenda dengan rekannya. “Insya Allah, tak ada rasa sakit lagi, tidak juga dendam yang tersimpan di hati anak-anak kami,” ungkap Rasyid. ***( Acun)


Dipublikasikan di Tabloid Sipil Edisi I (Maret 2008)

Wednesday, March 26, 2008

Pesona Air Terjun Lhong


Desiran air yang mengair dari bebatuan dan sembilir angin yang berhembus di antara pepohonan yang mejulang tinggi menambah keasrian objek wisata air terjun di Desa Krueng Kala, Kacamatan Lhong, Kabupaten Aceh Besar.

Saban harinya, terutama pada hari Sabtu dan Minggu tempat yang berlokasi sekitar 55 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh tersebut kerapkali dikunjungi ratusan bahkan ribuan masyarakat dari Banda Aceh dan Aceh Besar, bahkan ada juga yang sengaja datang dari Lamno, Kabupaten Aceh Jaya.

Selain memiliki kolam pemandian yang luas dan dalam, para pengunjung yang datang juga dapat menikmati pemandangan hijau dan suguhan makanan dan minuman dari sejumlah warung yang dikelola warga setempat dengan harga yang relatif murah.

Dan bagi pengunjung yang merasa penasaran dengan sumber aliran air terjun yang terdapat di puncak gunung dapat menelusurinya dengan mendaki sejumlah tangga yang terjal. Namun untuk hal yang satu ini hanya diperbolehkan bagi kaum lelaki saja, sesuai yang dituliskan pengelola objek wisata di pintu tangga.

“Pengkhususan jalur naik ke atas bagi laki-laki ini bertujuan untuk menghindari terjadinya berbagai hal-hal yang bertentangan dengan Syariat Islam, terlebih di sana hutannya sangat lebat dan jauh dari jangakauan mata kita,” kata warga setempat, Risman.

Air terjun Lhong juga menyimpan berjuta sumber daya alam yang berguna bagi manusia, salah satunya adalah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) oleh PT Cola-Cola dengan memanfaatkan arus air sebagai daya utama yang dapat mecukupi kebutuhan listrik ke seluruh desa setempat.

Meskipun pada masa konflik, objek wisata ini sempat ditinggalkan dan tidak terurus, namun kini wisata air terjun Lhong mulai kembali dilirik oleh wisatawan lokal maupun mancanegara serta lingkungannya pun semakin tertata rapi dan bersih.

“Pada masa konflik, daerah ini termasuk kawasan yang sangat rawan bahkan menjadi zona hitam. Jadi wajar saja kalau dulu wisata air terjun Lhong ini jarang diketahui oleh masyarakat,” ujar Risman.

Sementara, Anto, pengunjung dari Banda Aceh mengatakan, wisata air terjun Lhong merupakan tempat yang sangat ia gemari untuk dikunjungi, selain masih sangat alami, tempat tersebut juga mudah dijangkau.

“Memang jalan Banda Aceh – Meulaboh saat ini masih dalam proses pembangunan, tapi meski demikian jarak tempuh menuju ke sini masih bisa dilalui dengan kendaraan bermotor dan hanya memakan waktu 1 jam dari Kota Banda Aceh,” kata pria hitam manis yang juga mahasiswa Unsyiah itu.

Jadi bagi anda yang menyukai objek wisata alam, tidak ada salahnya untuk mencoba mengunjungi air terjun Lhong, Aceh Besar guna menikmati panorama alam yang natural lelah penat selama bekerja mungkin akan sirna seketika anda tiba di sana. *** (Acun)

Dipublikasikan di Tabloid Sipil Edisi I (Maret 2008)

Monday, March 24, 2008

Mencoklatkan Ulee Gunong

Mungkin dulu semua orang hanya mengenal Kabupaten Pidie sebagai daerah penghasil melinjo (boh mulieng), sehingga tidak jarang hasil pertanian ini kerap dijadikan sebagai buah tangan atau oleh-oleh bagi orang yang bepergian ke sana. Selain itu, komoditi unggulan tersebut juga telah diekspor ke berbagai daerah di Indonesia maupun manca negara.

Namun di balik itu semua, perlahan tapi pasti, kini masyarakat di Kabupaten Pidie mulai menghasilkan komoditi unggulan baru lainnya yang tidak kalah menjanjikan dan sangat diminati pengekspor bahan baku makanan yang ada di berbagai belahan dunia yaitu coklat (kakao).

Ulee Gunong, Kecamatan Tangse merupakan salah satu desa penghasil kakao terbesar di Pidie. Hampir semua masyarakat di desa tersebut berprofesi sebagai petani kakao, mulai dari yang hanya memiliki lahan puluhan meter hingga puluhan hektar. Tanaman ini telah dikembangkan warga sejak awal tahun sembilan puluhan, di samping kopi dan durian. Meskipun pada masa konflik puluhan hektar perkebunan tersebut sempat terlantar, namun seiring perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia di Helsinki 15 Agustus 2005 lalu, kini petani sudah dapat kembali bekerja dengan aman.

Perkebunan kakao kini juga telah menjadi pertanian komoditas masyarakat Ulee Gunong dan menjadi sarana perekonomian utama dalam memenuhi kebutuhan hidup penduduk yang kian lama kian meningkat. Selain perawatan yang relatif lebih mudah dibandingkan tanaman tua lainnya, kakao juga dapat dipanen hampir setiap minggu sepanjang tahun. Untuk lahan produktif yang luasnya dua hektar, pendapatan petani bisa mencapai Rp 30-40 juta/tahun.

“Meski ada sebagian masyarakat yang bekerja sebagai pegawai negeri di sejumlah instansi dan sekolah, namun mereka semua juga memiliki kebun kakao yang produktif,” kata Kepala Desa Ulee Gunong, Muhammad Usman (40).

Seiring dengan masuknya sejumlah lembaga donor ke Aceh pasca musibah tsunami 24 Desember 2004, masyarakat di dataran tinggi tersebut juga mendapatkan dampak positif yang cukup menjajikan dengan adanya bantuan pembangunan gudang sekaligus tempat pengolahan kakao dengan kualitas tinggi dari seorang pengusaha kaya di Perancis yang menyalurkan bantuan melalui kedutaan besar Perancis.

Pembangunan gudang pengolahan dan pengeringan kakao itu dikerjakan secara swadaya oleh masyarakat setempat dengan biaya yang diberikan kedutaan Perancis. Dan diprediksikan pembangunan akan rampung dikerjakan pada bulan Agustus mendatang.

Sarimaulidin (48) penyuluh pertanian dan juga sebagai pelaksana program mengatakan, pabrik pengolahan kakao tersebut bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat petani yang kini dinilai masih sangat minim dan belum mampu memenuhi kebutuhan keluarga dengan baik.

“Di sini nantinya kakao akan diolah secara fermentasi atau pengeringan yang lebih baik, sehingga kadar air yang terdapat di dalam kakao akan lebih sedikit serta dapat tahan lama dibandingkan dengan cara tradisional. Jika sebelumnya petani hanya bisa mendapatkan kadar air sekitar 10 -12 persen, maka dengan sistem pengeringan yang baru meraka akan memperoleh kakao dengan kadar air delapan persen. Dan tentunya itu akan menjadikan harga yang ditawarkan juga lebih mahal, bahkan bisa mencapai Rp 25 ribu/kg,” kata Sarimaulidin.

Selain itu, keuntungan yang diperoleh dari proses pengeringan secara fermentasi tersebut juga akan dikembalikan kepada masyarakat petani, sehingga nantinya dapat menambah pendapatan ekonomi bagi 260 Kepala Keluarga (KK) di desa yang berjarak sekitar 60 kilometer dari Kota Beurunun itu.

“Gudang ini adalah milik masyarakat, jadi setiap keuntungan yang diperoleh dari tempat ini juga akan dikembalikan kepada masyarakat, termasuk hasil yang diperolah dari penjulan coklat yang telah difermentasi” kata pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris desa setempat.

Biji kakao yang nantinya telah melalui proses pengeringan tersebut direncanakan akan diekspor ke luar negeri pada bulan Sepetember mendatang, dikarenakan sejumlah pabrik coklat mulai menunjukkan niatnya untuk menampung komoditi yang dinilai memiliki kualitas yang sangat baik itu. “Dari hasil uji kelayakan tim ahli beberapa bulan lalu, mereka mengatakan jika kualitas kakao di Tangse sangat tinggi dan sangat cocok untuk diekspor, hal ini dikarenakan struktur tanah yang subur serta sistem penanaman yang tidak menggunakan pupuk kimia,” ujarnya.

Di samping pembangunan gudang, masyarakat yang bermukim di lintasan Sigli-Meulaboh tersebut juga mendapatkan dukungan dari lembaga lokal Kemang yang membantu pengembangan kebun coklat yang lebih luas dan lebih baik dengan menyediakan persediaan pangan dan bibit kepada petani mau menggarap lahannya.

“Masyarakat yang bekerja untuk membersihkan dan mengelola kebun kakao akan diberikan bantuan pangan secara cuam-cuma, setiap harinya selama Februari mereka akan dibantu satu kilogram beras dan tiga kilogram minyak goreng, program ini bertujuan menumbuhkan minat petani dalam memperluas dan meningkatkan produksi kakao di kebun mereka sendiri,” katanya.

“Jika saat ini penduduk di Desa Ulee Gunong hanya memiliki 360 hektar lahan, maka di masa mendatang kita akan mempunyai lahan kakao yang lebih luas dengan produksi yang melimpah dan dapat ditampung oleh sejumlah investor pertanian yang masuk ke Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD),” tambah lelaki berkumis dan murah senyum itu.

M. Husen (50) warga Ulee Gunong mengatakan, dirinya sangat senang dengan adanya dukungan dari lembaga asing dan lokal yang membantu warga dalam mengembangkan perkebunan kakao yang lebih baik serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang juga sempat mengungsi pada saat berlangsungnya konflik.

“Kalau kini saya hanya bisa mendapatkan penghasilan dari coklat senilai Rp 500 ribu/bulan, maka dengan adanya gudang yang mengolah biji kakao secara lebih moderen tersebut perekonomian keluarga saya juga akan lebih baik,” ungkapnya.

Hal senada juga dikatakan Imran Ismail (35), “Ini adalah program yang cukup membantu masyarakat kami yang perekonomiannya masih rendah, dan kalau bisa pembangunan gudang dapat selesai lebih cepat dari target, sehingga harga jual kakao petani juga akan lebih tinggi dari sebelumnya,” katanya.

Ia juga mengharapkan kiranya pemerintah dan akademisi yang berkompeten di bidang pertanian dapat lebih memerhatikan mereka terutama dalam memberikan penyuluhan dan inovasi baru bagi masyarakat dalam meningkatkan produktifitas kakao, tambah Imran sembari membersihkan kebun di halaman rumah.*** (Acun)

Dipublikasikan di Tabloid Sipil Edisi II (April 2008)