Saturday, October 27, 2007

Banjir Lagi... Banjir Lagi...

Hujan lebat yang akhir-akhir ini mengguyur hampir seluruh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) telah mengakibatkan banjir di beberapa kabupaten/kota. Bahkan dua orang meninggal dunia terseret arus banjir di kabupaten Aceh Selatan. Akankah ini menjadi “tradisi yang harus dirayakan” rakyat Aceh?

Masih kental diingatan kita bagaimana dahsyatnya musibah banjir bandang di Aceh Tamiang akhir Desember 2006 lalu. Puluhan nyawa melayang. Rumah pun rata diseret arus banjir. Apalagi ladang tempat para petani mencari nafkah, yang dulunya di tanami tanaman jeruk, langsat dan tanaman lainnya ludes ditelan banjir. tidak ketinggalan ternak milik masyarakat setempat pun ikut hanyut.

Sebelum di Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Tenggara juga pernah terjadi banjir banding, disusul kemudian kota Sabang. Di kedua Kabupaten ini musibah tersebut turut merenggut korban jiwa maupun harta benda.

Diakui atau tidak, salah satu sebab terjadinya banjir dikarenakan banyak pohon di hutan Aceh yang ditebang sembarangan tanpa ada penanaman kembali. Pohon yang seharusnya berfungsi sebagai penahan/penyerap air disaat hujan, telah dibabat oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Banjir yang melanda hampir di seluruh provinsi NAD dinilai juga terjadi akibat proses percepatan rehab dan rekon yang “tidak ikhlas” dari pihak yang bertanggung jawab, dalam hal ini Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias.

BRR merupakan lembaga yang dibentuk langsung oleh pemerintah pusat karena terjadinya musibah gempa dan tsunami Desember 2004 lalu di Aceh dan Nias. Banyaknya negara asing yang membantu Aceh dan Nias tanpa ada yang mengontrol, memaksa pemeritah membentuk badan tersebut.

BRR juga diamanahkan untuk secepatnya menyelesaikan rehab dan rekon di berbagai sektor di Aceh dan Nias. Seluruh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik lokal maupun asing yang tunduk kepada BRR. Pemerintah memberi target penyelesaian proses rehab rekon hingga tahun 2009 kepada BRR dan sejumlah LSM/NGO asing untuk menuntaskan programnya.

Ke-tidak ikhlasan dari tiga pihak yang penulis nilai bertanggung jawab (Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan BRR NAD-Nias) pun mulai ditampakkan. Aksi protes terlihat mengiringi kebijakan Menteri Kehutanan (Menhut) mengenai tambahan kuota tebang kayu di Aceh tahun 2006 yang sepuluh kali lebih besar dibanding sebelumnya. Alasan Menhut menambah kuota tersebut untuk mendukung rehab dan rekon Aceh di masa mendatang. Beruntung kebijakan itu ditentang oleh berbagai elemen masyarakat, termasuk anggota DPRD Nanggroe Aceh Darussalam. Bahkan Asrul Abbas, dari Fraksi PAN menilai kebijakan Menhut ini telah melukai hati rakyat Aceh.

Belum lagi masalah masih banyaknya korban gempa dan tsunami yang belum memiliki rumah dan terpaksa menginap di Hunian Sementara (HUNTARA). Padahal uang yang ada di BRR sangat banyak. Terlebih lagi target yang diberi pemerintah untuk BRR menyelesaikan misinya hanya tinggal beberapa saat lagi.

Pencurian kayu di hutan Aceh bukan hal yang tidak mungkin terjadi akibat tuntutan target dan banyaknya kayu yang dibutuhkan untuk membangun ratusan ribu rumah warga, gedung sekolah, puskesmas, perahu dan boat nelayan yang hancur maupun rusak akibat gempa dan tsunami dua tahun silam.

Kalau memang kebutuhan kayu yang demikian banyak, namun hutan Aceh tak boleh ditebang, lalu dari mana “emas hitam” itu akan diperoleh?

Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Irwandi Yusuf, sebelumnya juga telah menetapkan moratorium loging untuk seluruh kawasan hutan Aceh dengan pemberian sanksi tagas kepada siapapun dan dari komponen manapun yang ingin merambah keperawanan hutan Aceh.

Hal itu dilakukan Gubernur untuk mewujudkan kembali keindahan hutan, keseimbangan alam serta mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana alam yang lebih besar di masa mendatang di Negeri Tanah Rencong ini.

Meskipun berbagai kebijakan telah dicanangkan oleh pihak eksekutif dan legislatif di Provinsi NAD, namun musibah banjir masih saja terjadi tiap tahunnya. Sedihnya lagi, bukan hanya lumpur dan bebatuan yang dibawa banjir, tapi gelondongan kayu berukuran kecil maupun besar juga ikut dibawa arus dan menghantam rumah-rumah penduduk.

Saat ini kita hanya bisa berharap kejadian yang serupa tidak terulang lagi di Aceh. Tentunya hal itu hanya dapat terwujud jika seluruh komponen di Aceh mampu menerima komitmen bersama (moratorium loging) dengan ikhlas dan penuh tanggungjawab. Semoga!!!

Thursday, October 25, 2007

Ulama Aceh Desak Pemerintah Tindak Tegas Al-Qiyadah

Sejumlah Ulama di Indonesia termasuk Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) mendesak pemerintah pusat untuk segera menindak tegas setiap ajaran sesat yang masuk ke Indonesia dan mencoba mempengaruhi aqidah umat Islam.

"Kita minta pemerintah pusat untuk segera menangkap dan mengadili penyebar aliran sesat seperti Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang telah masuk ke bebebapa daerah di Indonesia," kata Ketua MPU NAD, Prof.Dr. Muslim Ibrahim MA di Banda Aceh.

Menurut dia, Al-Qiyadah Al-Islamiyah jelas telah menyiarkan ajaran sesat kepada masyarakat karena dalam ajarannya mereka tidak mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir, melainkan memilih rasul lainnya yaitu Ahmad Moshaddeq alias H. Salam.

"Dalam Al-Qur'an telah jelas jika Nabi Muhammad merupakan rasul terakhir umat Islam, dan barang siapa yang mengatakan dirinya rasul setelah itu berarti telah sesat dan harus ditumpas. Dan bagi mereka yang sudah telanjur mengikutinya kita imbau untuk segera kembali kepada Al-Quran dan Hadits," tegasnya.

Selain itu, aliran baru itu juga tidak mewajibkan shalat, puasa dan haji, karena pada abad ini masih dianggap tahap perkembangan Islam awal sebelum akhirnya terbentuk Khilafah Islamiyah. Aliran tersebut juga mengenal penebusan dosa dengan menyerahkan sejumlah uang kepada al-Masih al-Mau`ud.

Ketua MPU juga menghimbau kepada seluruh masyarakat khususnya di Aceh untuk lebih peka terhadap setiap ajaran baru yang mencoba masuk dalam kehidupan masyarakat, serta segera melaporkan jika dijumpai adanya ajaran sesat yang masuk ke pihak yang berwenang.

"Kita minta masyarakat untuk lebih hati-hati menerima golongan yang mencoba menyiarkan ajaran baru, dan bila ada agar segera melaporkan ke pihak berwenang seperti MPU atau MUI, untuk selanjutnya diteruskan kepada pemerintah," katanya.

Sebelumnya, MUI mengeluarkan fatwa bahwa Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah adalah sesat. Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ma'ruf Amin, menegaskan, aliran ini berada di luar Islam, dan orang yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari ajaran Islam).

"Bagi mereka yang sudah telanjur mengikutinya diminta bertobat dan segera kembali kepada ajaran Islam yang sejalan dengan Quran dan hadits," katanya.

MUI juga mendesak pemerintah melarang penyebaran paham baru tersebut serta menindak tegas pemimpinnya. Aliran tersebut telah terbukti menodai dan mencemari ajaran Islam karena mengajarkan sesuatu yang menyimpang dengan mengatasnamakan Islam.


Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah didirikan oleh Ahmad Moshaddeq alias H Salam sejak 23 Juli 2006. Ia mengaku mendapat wahyu dari Allah dan mengaku sebagai Rasul menggantikan posisi Muhammad SAW setelah bertapa selama 40 hari 40 malam.

Kitab Suci yang digunakan adalah Alquran, tetapi meninggalkan hadits dan menafsirkannya sendiri. Aliran itu juga mengajarkan Syahadat baru, yakni "Asyhadu alla ilaha illa Allah wa asyhadu anna Masih al-Mau`ud Rasul Allah", di mana umat yang tidak beriman kepada "al-Masih al-Mau`ud" berarti kafir dan bukan muslim.

Dakwah aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah kini telah menyebar ke beberapa provinsi di Indonsia, antara lain di Jawa Barat, Jakarta, Yogyakarta, dan kini tercatat ribuan orang telah menjadi pengikut ajaran tersebut.*** (Rizha)
Dipublikasikan di LKBN ANTARA

Wednesday, October 10, 2007

Belajar di Tumpukan Sampah


“Ngak ada uang untuk melanjukan sekolah. Jadi, lebih baik mengisi waktu dengan menjual barang-barang bekas seperti ini aja”


Guyuran keringat dan bau tak sedap seakan tak menghalagi tekatnya dalam megais sedikit uang untuk melanjutkan hidup. Meskipun terkadang harus tersengat panasnya matahari dan derasnya hujan, namun remaja berambut ikal dan bertubuh kurus ini tetap tagar berebut rezeki bersama lalar yang memenuhi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Kampung Jawa, Kota Banda Aceh.

Usma Daud (16), demikianlah nama anak berkemeja lusuh dan jeans biru itu. Remaja asal Krueng Gukuh, Kabupaten Aceh Utara ini telah menjalani profesinya sebagai pemulung hampir setahun yang lalu. Dia terpaksa meninggalkan bangku pendidikan dan keluarganya untuk membantu perekonomian keluarga yang semakin terjepit.

“Ngak ada uang untuk melanjukan sekolah. Jadi, lebih baik mengisi waktu dengan menjual barang-barang bekas seperti ini aja,” katanya.

Sebelumnya Usma sempat bersekolah satu tahun di salah satu SMA negeri di Aceh Utara, namun dikarenakan kondisi perekomian orang tua yang semakin terjepit, dia pun terpaksa untuk mengurungkan niatnya menyelesaikan pendidikan di sekolah tersebut. Meskipun sebenarnya dia sangat menempuh pendidikan hingga ke perguruan tinggi.

“Kalau di kampung terus, paling hanya akan memberatkan orang tua. Tapi, di sini saya bisa membiayai semua sendiri, dan bahkan barang bekas pun bisa jadi uang,” ujarnya seraya membersihkan radio bekas yang ditemukan diantara tumpukan sampah.

Saat ditanyakan apakah dia masih ingin melanjutkan pendidikan jika ada yang mau membiayai sekolahya dikemudian hari, kata Usma, hal itu telah menjadi harapannya sejak dulu, dan dia juga merasa sangat sedih ketika dia baru merasakan pendidikan di sekolah menengah, ternyata harus kandas dan berhenti ditengah jalan.

“Siapa yang tidak ingin menyelesaikan sekolah bersama teman-teman di kampung, apalagi jika bisa sampai perguruan tinggi hingga memperoleh gelar sarjana. Tapi semua itu kini hanya menjadi kenangan dan harapan saja bagi saya,” ungkapnya seraya mengenang saat ia masih bersekolah dulu.

Sementara itu, di sebuah kafe di sudut Kota Banda Aceh, Ramlan (11) anak bercela merah dan bersandal butut senantiasa membawakan tas plastik dan sejumlah amplove untuk diserahkan kepada sejumlah pengunjung yang datang. Saban harinya hal itu dilakukannya untuk mengharapkan sedikit belas kasihan dari masyarakat yang bercegkrama dan menikmati hidangan yang disugukan pelayan kafe.

Anak yang seharusnya sedang indah menikmati waktu bermain dan belajar dengan teman-teman sebayanya, kini terpaksa harus membantu kebutuhan ekonomi keluarga dengan menjadi pengemis di sejumlah tempat.

“Setiap hari saya mengimis dari pagi hingga malam hari, itung-itung untuk tambah uang jajan dan bantu orang tua,” katanya seraya tersenyum.

Usma Daud dan Ramlan hanyalah segelintir dari ribuan anak Aceh yang tidak dapat melanjutkan pendidikan dan harus rela bekerja serta meninggalkan masa-masa yang seharusnya dihabiskannya untuk belajar di seklah-sekolah. Di berbagai tempat lainnya, baik persimpangan jalan maupun kefe-kefe dan rumah makan senantiasa masih tampak tampak ratusan anak-anak Aceh lainnya yang menghabiskan kesehariannya dengan menjadi gepeng (gelandangan dan pengemis).

Di tengah banyaknya lembaga donor dalam dan luar negeri yang menghamburkan bantuannya ke Aceh dan triliyunan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) per tahunnya, namun di sisi lain masih ada anak-anak Aceh yang belum dapat “mencicipi” dunia pendidikan.***Rizha
Dipublikasikan di Tabloid Lintas Nol Edisi I (September)

Kelapa Muda Menu Favorit Berbuka di Banda Aceh


oleh: Fachrur Rizha

Suasana ramai senantiasa mewarnai pinggiran jalan raya di Kota Banda Aceh sepanjang Ramadhan. Keramaian masyarakat yang ingin membeli air kelapa muda untuk menu berbuka puasa.

Air kelapa muda kini seakan menjadi menu "wajib" berbuka puasa di kalangan masyarakat, sehingga memadati tempat-tempat pedagang kepala muda di bulan yang penuh rahmah ini.

Masyarakat merasakan seakan hanya air kelapa muda yang menghapuskan dahaga setelah sehari berpuasa, meskipun tidak sedikit menu berbuka lainnya ditawarkan pedagang musiman daerah itu.

Seorang warga Banda Aceh, Yusmahdi, mengatakan air kelapa muda merupakan minuman segar yang menjadi salah satu minuman favorit berbuka puasa bagi anggota keluarganya.

"Bertahun-tahun kami menjadikan air kelapa muda yang dicampur sirup manis dan jeruk nipis sebagai minuman berbuka puasa," ujarnya.

Sementara Nuraini mengaku seluruh anggota keluarganya menggemari kelapa muda. Untuk memenuhi hasrat tersebut, dia harus membeli empat sampai lima buah dalam sehari.

Pedagang air kelapa muda terlihat hampir setiap sudut kota Banda Aceh seperti Jalan T Nyak Arief, Teuku Umar, Daud Bereueh, T Nyak Makam, Panglima Polem dan Diponegoro.

Bahan bakunya mereka datangkan dari Banda Aceh, kabupaten/Kota lainnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), seperti Aceh Besar, Pidie, Bireuen dan Aceh Utara.

Seorang pedagang Syukur mengatakan, permintaan terhadap kalapa muda terhitung tinggi sepanjang Ramadhan 1428 Hijriyah, namun di sisi lain menjadi peluang usaha bagi masyarakat setempat.

Dia mengaku bahwa menjadi pedagang air kelapa muda di bulan puasa bukan profesi yang digelutinya selama ini. Itu hanya sebagai upaya mencari tambahan rezeki meski harus hijrah dari daerah asalnya, Pidie.

"Biasanya saya berdagang di pasar tradisional Sigli, tapi selama Ramadhan ini saya mencoba berjualan kelapa muda di Banda Aceh," ujarnya seraya mengupas kelapa permintaan pembeli.

Luar Banda Aceh
Para pedagang mempasok kelapa muda dari sejumlah kabupaten/kota untuk memenuhi permintaan masyarakat yang berdominsili di ibukota Provinsi NAD, Banda Aceh itu.

Sejumlah pedagang menyatakan mereka terpaksa mendatangkan kelapa muda dari daerah lain seperti Kabupaten Pidie dan Bireuen karena persediaannya di Banda Aceh sangat kurang.

Pemasok kelapa muda asal Pidie Jamaluddin menyatakan setiap hari rata-rata 500-700 butir didatangkan ke Banda Aceh untuk selanjutnya dijual ke sejumlah pedagang musiman.

"Sejak pertama Ramadhan, saya sudah mendatangkan lebih 9.000 butir kelapa muda dari Pidie. Permintaan kelapa muda bulan puasa 2007 lumayan besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya," katanya.

Besarnya permintaan konsumen di Banda Aceh dan sekitarnya menyebabkan mulai menipisnya persediaan kelapa muda di Kabupaten Pidie dan Bireuen.

"Jika permintaan terus meningkat, diperkirakan hingga beberapa hari mendatang pasokan kelapa muda akan semakin menipis, sebab persediaannya kini berkurang di Pidie dan Bireuen," kata Jamaluddin.

Harga meningkat
Harga jual kelapa muda meningkat dari biasanya, bahkan ada pedagang yang menjual meningkat dua kali lipat dari harga sebelum puasa. Peningkatan harga tersebut sesuai dengan hukum ekonomi yang berlaku di tingkat pedagang.

Pedagang kepala Syamsul menjelaskan, harga kelapa muda mengalami kenaikan mencapai 100 persen dibanding sebelumnya. Harga kepala muda kini berkisar Rp3.500-Rp5.000/buah dari sebelumnya Rp2.000-Rp2.500/buah.

"Harga kelapa muda saya jual dengan harga Rp4.000/buah, namun sebagian penjual ada juga yang menjual hingga Rp5.000/buah," katanya.

Kenaikan harga kelapa muda itu selaras meningkatnya permintaan konsumen, sementara persediaan lokal (Aceh Besar dan Banda Aceh) terbatas, namun dapat diantisipasi dengan mendatangkan dari Pidie dan Bireuen.

"Biaya transportasi yang harus dikeluarkan untuk mendatangkan kelapa muda sangat mahal di bulan Ramadhan seperti ini. Jadi wajar bila harga kelapa muda yang dijual pedagang sedikit mahal," katanya.

Dia mengatakan, ongkos angkut menjadi salah satu penyebab tingginya harga jual kelapa muda di Banda Aceh. Kalau dulu pasokannya Aceh Besar, sekarang harus didatangkan dari Kabupaten Pidie dan Bireuen, tambahnya.

Usaha menjual kelapa muda sepanjang bulan suci Ramadhan menjadi salah satu kegiatan yang banyak dilakukan masyarakat setempat, karena selain sangat digemari juga mendukung ekonomi keluarga.

Kelapa muda kini menjadi menu buka puasa favorit di kalangan masyarakat muslim, khususnya di Banda Aceh dan itu bukan berarti menu lainnya tidak disenangi.***(Rizha/LKBN Antara)

Mempantikan Anak Jalanan Aceh

Walaupun kemampuan Dinas Sosial terbatas, namun kami berupaya semaksimal mungkin untuk mendata anak-anak jalanan”

Usaha pemerintah untuk membangun kembali sektor pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) seakan belum mencapai target memuaskan.. Hal ini seakan luput dari perhatian pemerintah. Banyaknya anak jalanan, membuktikan lemahnya perhatian lembaga pemerintahan dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan di Aceh. Sehingga mereka lebih memilih jalan hidup sendiri dengan berkeliaran di jalanan untuk menggais rezeki.

Menurut catatan Dinas Sosial Propinsi Naggroe Aceh Darussalam, di tahun 2004 jumlah anak terlantar mencapai 5000 jiwa. Hal itu disebabkan berbagai faktor, antara lain kehilangan orang tua atau terpisah dengan kelurga, atau bahkan ada pula yang trauma karena kekerasan. Ribuan anak terlantar ini berada dalam situasi stres, trauma fisik dan mental. Banyak di antaranya yang tidak dapat mengikuti pendidikan di berbagai sekolah di Aceh.

Dinas Sosial yang berperan aktif mengatasi permasalahan anak terlantar dalam hal ini berupaya agar anak jalanan yang masih usia sekolah, bisa melanjutkan pendidikan sesuai dengan tingkat jenjang pendidikannya.

”Walaupun kemampuan Dinas Sosial terbatas, namun kami berupaya semaksimal mungkin untuk mendata anak-anak jalanan. Ini sebagai upaya untuk menampung anak jalanan di perpantian dengan memberikan pelayanan kesehatan, ekonomi dan pendidikan, baik formal maupun nonfolmal,“ ungkap Ilyas, wakil Dinas Sosial NAD.

Ilyas menambahkan, meningkatnya jumlah anak jalanan di Kota Banda Aceh pasca tsunami, diperparah dengan kondisi sosial ekonomi yang masih tertinggal di tingkat pedesaan. Sehingga mereka (anak jalanan-red) terpaksa menadahkan tangan untuk memenuhi kehidupan ekonomi.

Namun pada saat disinggung tentang masih adanya anak-anak jalanan yang tidak terdata oleh Dinas Sosial, sehingga mereka tidak mendapat sarana pendidikan yang layak dari pemerintah. Wakil Kepala Dinas Sosial berkilah, bahwa selama ini pihaknya telah melakukan razia terhadap anak jalanan untuk dipantikan.

“Sebenarnya permasalahan demikian ada pada anak jalanan itu sendiri. Pihak Dinas Sosial bekerja sama dengan Dinas Perkotaan, pernah melakukan razia terhadap anak-anak jalanan. Dengan maksud anak jalanan yang terjaring dalam razia akan dipantikan agar mendapat pendidikan yang layak. Namun mereka terkesan menghindar pada saat dilakukan razia,“ tegasnya.

Dalam perundang-undangan Negara Republik Indonesia disebutkan, “anak jalanan dan fakir miskin dipelihara oleh Negara.“ Hal ini sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 34 ayat 1 tentang perlindungan anak. Serta dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002, pasal 9 ayat 1 juga disebutkan tentang hak dan kewajiban anak. “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.“

Dan ayat 2 “khusus bagi anak yang penyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa. Sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapat pendidikan khusus. Untuk menjaga dan menjalankan peraturan yang telah diamanatkan sesuai dengan UUD 1945 dan UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindunagn anak, maka Negara dan pemerintah yang bertanggung jawab untuk melaksanakan amanat UU ini membentuk sebuah Lembaga Negara yakni Dinas Sosial (Dinsos).

Sementara itu, Ketua penanganan masalah anak jalanan Dinas Sosial NAD, Mahdani mengemukakan, anak jalanan yang tidak mau dipantikan mereka hanya diberikan bantuan berupa perlengkapan sekolah. Pihak Dinas Sosial bekerjasama dengan pusat kajian perlindungan anak, yayasan anak bangsa serta International Labour Organization (ILO) telah melakukan pendataan anak-anak jalanan di seluruh Aceh, untuk memastikan apakah mereka yang menerima bantuan ini benar-benar melanjutkan sekolah apa tidak.

Mahdani menambahkan, dinas sosial melakukan berbagai upaya untuk menangani masalah anak jalanan. “Kami telah berusaha semampu kami. Selain itu, kami juga melakukan kerja sama dengan Japan International Cooperatiaon Syestems (JICS) untuk mendirikan rumah sejahtera anak jalanan,“ ungkapnya.***Jufri/Rizha

Dipublikasikan di Tabloid Lintas Nol Edisi I (September)

Pendidikan Aceh Butuh Kualitas Bukan Kuantitas



Dunia pendidikan merupakan sektor terpenting dalam pembangunan suatu daerah, karena kunci kemajuan tersebut sangat tergantung dari sejauh mana pendidikan itu diperhatikan. Demikian pula halnya dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang kini mendapatkan perhatian yang cukup banyak dari berbagai pihak pasca musibah tsunami 26 Desember 2004 dan perjanjian damai Helsingki 15 Agustus 2005.

Untuk mengetahui sejauh mana perkembangan dan upaya apa saja yang harus dilakukan untuk pendidikan di Aceh, Dr. Darni M Daud, MA, pakar ilmu pendidikan yang juga Rektor Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, menuturkan kepada Lintas Nol. Berikut kutipan wawancara dengan orang nomor satu di Unsyiah tersebut.

Menurut bapak sebagai pakar pendidikan, bagaimana perkembangan dunia pendidikan Aceh saat ini?

Saya melihat dunia pendidikan Aceh sedang memasuki titik transitional, dalam pengertian sedang mengalami masa perubahan, namun kalau semua ini bisa di kelola dan diatur dengan benar maka akan menjadi lebih baik di masa mendatang. Tapi, manakala ini tidak jelas arahnya, maka akan terjadi perbenturan antara satu komponen dengan komponen lain yang akhirnya menjadikan dunia pendidikan kita semakin membingungkan dan tiada arah.

langkah apa yang harus dilakukan untuk memajukan dunia pendidikan kita?

Kitalah yang sangat menentukan praktisi dunia pendidikan ke depan. Karena seperti diketahui sekarang, banyak pihak yang memberikan perhatiannya dan bantuan sebagai upaya peningkatan sumber daya manusia dan sebagainya. itu semua bermuara pada kita untuk meningkatkan mutu pendidikan. Jadi kalau tingkat pendidikan dasar, menengah sampai tingkat pendidikan tinggi jangan hanya tergantung pada potensi dan harapan mereka . Tapi juga sangat tergantung bagaimana kita memberikan perhatian dan di atas semua itu yang paling penting jangan mempolitisir dunia pendidikan.

Sejauh mana pengaruh konflik dan tsunami terhadap dunia pendidikan di Aceh?

Kita lihat sebelum tsunami dan konflik, yang sangat kental pada waktu itu hanyalah perasaan was-was dengan konsep pencerahan yang akan digalakkan di berbagai universitas dan sekolah di Aceh. Namun pasca tsunami, Aceh menjadi wilayah terbuka dengan sendirinya dan kekhawatiran masa lalu pun menjadi hilang. Apalagi setelah adanya MoU damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah 15 Agustus 2005 yang akhirnya membawa kedamaian yang senantiasa dinantikan seluruh masyarakat di Aceh.

Perubahan apa saja yang tampak dari masyarakat?

Memang terdapat perbedaan yang cukup signifikan, ditandai oleh beberapa kesuksesan dalam dunia pendidikan yang sudah mulai terlihat sekarang ini dan cukup penting juga ternyata kalau ada sekolah-sekolah yang bagus atau sekolah yang menawarkan program cukup baik. Masyarakat kita mulai sadar untuk menyekolahkan anaknya ke sana. Tapi dalam sisi lain memang ada juga masyarakat yang sangat berat dan inginnya hanya sekolah gratis, Seolah-olah mereka tidak makan. Ini suatu persepsi yang keliru saya kira.

Di Amerika misalnya, partisipasi masyarakat di sana untuk membangun pendidikan itu cukup gigih dan cukup pesat sekali. Mereka mewakafkan harta untuk dunia pendidikan. Tapi, kalau kita di sini sebaliknya, masih banyak masyarakat yang mampu, namun selalu mencari pendidikan yang gratis. Sedangkan untuk kebutuhan lainnya seperti beli handphone baru, mereka mau memberikan uang lebih untuk anaknya. Hal inilah yang sangat kita sayangkan dalam dunia pendidikan saat ini.

Lalu, bagaimana dengan banyaknya sekolah-sekolah bantuan asing?

Kehadiaran mereka di Aceh bertujuan untuk membangun sekolah, saya kira hal ini telah memberikan pencerahan bagi masyarakat bagaimana pendidikan harus dibangun. Bagaimana pastisifasi masyarakat untuk ditumbuh kembangkan, saya kira ini pastisipasi yang cukup positif. Meskipun tentunya ada aspek-aspek negatif. Namun semua itu sangat tergantung dari kontrol masyarakat dan pemerintah Aceh sendiri.

Namun untuk menyekolahkan anaknya di sekolah asing dan favorit juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit, ini bagaimana?

Ada yang mengatakan bagaimana dengan mereka yang dari komponen kurang mampu, inilah peran pemerintah memberi bantuan itu. Jadi saya tidak melihat pemikiran yang propertif. Istilah Mahatir Mohamad, bukan pemikiran pemuda yang propertif kalau semua ingin bebas biaya. Yang saya pikir, sebaiknya keluarga yang mampu harus memberikan bantuan lebih untuk pendidikan, toh nantinya dapat membantu masyarakat keluarga yang dari kurang mampu.

Kita sekarang ini terkadang salah kaprah. Semua mau bebas, anak orang kaya yang memiliki mobil lima dirumahnya atau perusahaan pun mau melakukan demo minta SPP gratis. Kalau maunya free bagaimana kita bisa meningkatkan mutu pendidikan Aceh. Dalam kontek global, masyarakat menginginkan mutu lebih baik, tapi di sisi lain mereka tidak mau mengeluarkan biaya. Padahal dimanapun yang namanya pendidikan itu tidak terlepas dari modal dan butuh dana. Inilah yang saya kira perlu dijadikan pemahaman. Dan pemahaman ini hendaknya harus dilakukan segera, jangan ditunggu, karena kalau sudah terlambat nantinya baru sadar jika kita sudah tertinggal.

Jadi, gartis bagaimana yang sebenarnya dimaksudkan?

Pendidikan gratis yang di gembar-gemborkan itu saya kira bukan gratis dalam artinya keseluruhan, tetapi juga membutuhkan beli buku atau perlengkapan praktikum yang lebih baik. Nah, coba kita lihat perguruan tinggi misalnya. Mahasiswa inginnya membayar uang kuliahnya itu paling rendah di dunia. Tapi di sisi lain kan kita ini juga butuh berbagai tambahan fasilitas. Karena bagaimanapun dunia pendidikan itu butuh dana, dan anak-anak sendiri itu butuh buku, butuh fasilitas dan sarana pendukung lainnya untuk memperluas cakrawala.

Lalu, dengan kondisi dan kesejahteraan guru di Aceh saat ini sendiri bagaimana?

Pendidikan yang baik bukan sekedar meningkatkan mutu saja, tapi juga membarikan kesejahteraan bagi tenaga pengajar, dan saya pikir ini sisi bagus yang harus diperhatian dan perlu didukung semua pihak. Serta tidak beranggapan ini semua urusan pemerintah semata, tetapi dalam hal ini masyarakat juga tidak bisa bebas dari tanggung jawab ini. Sebab bagaimanapun menurut undang-undang dan kebutuhan guru, pemerintah dan masyarakat juga harus memberikan partisipasi yang optimal. Jadi kondisi sekarang masih belum optimal seperti yang kita harapkan. Tetapi harapan kita ya setidaknya guru untuk ke dapan dapat memproleh kesejahteraan yang lebih baik. Sehingga tidak dijumpai lagi guru yang harus hidup di bawah garis kemiskinan.

Kita lihat saat ini terjadi perbedaan fasilitas antara sekolah di desa dengan di kota, ini bagaimana?

Nah inilah tugas pemerintah dan berbagai pihak yang berperan dalam bidang pendidikan. Jadi, kalau ada bantuan jangan dialokasikan untuk satu daerah saja, tapi juga memerlukan adanya kesetaraan dengan daerah-daerah lainnya, termasuk wilayah terpencil. Inilah sebabnya kenapa penting pemetaan secara baik di sekolah-sekolah di seluruh Aceh. Sehingga nantinya masyarakat di seluruh Provinsi NAD dapat menempuh pendidikan dengan fasilitas dan mutu yang sama.

Dengan semakin banyaknya bantuan dari lembaga donor dalam maupun luar negeri, maka secara tidak langsung jumlah sekolah di Aceh terus bertambah. Apakah hal ini akan mempengaruhi efektivitas pendidikan?

Saat ini di satu desa saja ada yang dibangun sekolah dasar lebih dari satu, padahal saya rasa itu hal yang tidak terlalu penting. Melainkan yang harus diperhatikan saat ini bukan banyaknya sekolah tapi mutu dari sekolah tersebut. Atau dengan kata lain, yang dibutuhkan bukanlah kuantitasnya, tapi kualitas pendidikan yang lebih baik.

Dulu kita lihat satu komplek atau petak tanah dibangun lima sekolah. Ada apa ini, cuma bertujuan agar banyak jabatan di sekolah-disekolah? Saya kira ini fikiran-fikiran yang konvensional dan tidak maju gitu. Kita harus merobah tatanan dan pola pikir itu. Yang saya maksudkan kita bisa melihat lebih luas. Kita ini kan perlu berpikir dan bertindak secara lebih terprogram dari pada kita bangun sekolah banyak. Untuk apa sekolah banyak, kalau gurunya tidak mencukupi, bukankah lebih baik satukan saja sekolah itu. Demikian pula halnya dengan kepala sekolah perlu untuk diseleksi dengan benar dan bukan sekedar untuk bagi-bagi jabatan.

Lalu, bagaimana dengan fasilitas transportasi khusus sekolah yang saat ini tampak masih sangat kurang?

Sebaiknya tiap sekolah itu punya bis sendiri, baik itu sekolah yang ada di perkotaan ataupun sebaliknya. Selain untuk membantu siswa saat akan pergi atau pulang dari sekolah, hal tersebut juga berguna untuk melatih disiplin anak-anak. Mereka tunggu dimana, jadi orang tuanya cuma mengantar sesuai jadwal masuk sekolah. Selama ini orang tua semua sibuk bekerja, sehingga mengharuskan mereka untuk membagi waktu untuk mengantar atau menjemput anak, sehingga tampak terlalu direpotkan. Sebenarnya itu semua tidak perlu terjadi jika kita bisa menyiapkan bis khusus yang membantu transportasi siswa. Bukanlah satu bis itu lebih murah daripada membangun satu sekolah?

Harapan bapak untuk dunia pendidikan di Aceh di masa mendatang?

Saya harapkan mutu pendidikan di Aceh di masa mendatang akan lebih baik, dan untuk mewujudkan hal itu tentunya sangat dibutuhkan dukungan dari semua pihak, terutama dari pemerintah Aceh sendiri. Bukanlah saat ini kita telah mendapatkan alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Nah, ini kita harapkan dapat dimanfaat oleh pemerintah untuk mengalokasikan lebih banyak pada sektor dunia pendidikan, sehingga tidak ada lagi anak-anak Aceh yang tidak bisa menempuh pendidikan atau putus sekolah hanya dikarenakan masalah biaya.

Dunia pendidikan merupakan faktor terpenting dalam membangun suatu daerah, jika suatu daerah pendidikan rendah, maka akan rendah pula pembangunannya, demikian pula sebaliknya. Selain itu kita juga mengharapkan mutu pendidikan di Aceh akan semakin meningkat, jika sebelumnya mutu pendidikan kita termasuk ke dalam kategori wilayah yang pendidikannya masih rendah, mudah-mudahan hal ini tidak lagi di alami dunia pendidikan Aceh di masa mendatang***Rizha

Dipublikasikan di Tabloid Lintas Nol Edisi I (September 2007)

Desa Konflik Penghasil Kakao

"Saat konflik berlangsung, semua masyarakat di desa ini terpaksa mengungsi ke daerah lain, sehingga perkebunan yang telah kami tanam harus ditinggali tanpa bisa mengambil hasil,"


Udara dingin dan gumpalan kabut senantiasa mewarnai keseharian masyarakat dataran tinggi di lintasan Sigli-Meulaboh. Jalanan terjal dan berliku juga telah menjadi pemandangan yang biasa bagi mereka yang bermukim di daerah ini.

Daerah yang bertempat di lereng pengunungan ini tergolong salah satu daerah yang subur dan produktif untuk pengembangan potensi pertanian di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Ulee Gunong, begitulah sebutan desa yang terletak di Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie. Masyarakat yang bermukin sekitar 60 Km dari kota Beureunun ini setiap hari memulai aktifitasnya dengan bekerja sebagai petani di perkebunan milik mereka.Desa yang terdiri dari tiga dusun dan memiliki 215 kepala keluarga (KK) ini, merupakan masyarakat yang homogen (sama). Dimana hamper keseluruhannya sebagai petani tanaman tahunan (perkebunan).

Coklat (kakao), kopi, pinang, dan durian merupakan tanaman yang paling digemari penduduk setempat. Selain hasilnya lebih bagus, perkebunan ini juga telah menjadi tradisi turun menurun sejak mereka mendiami daerah dingin ini.

Hampir keseluruhan masyarakat yang tinggal di Desa Ulee Gunong adalah pendatang yang merantau dari berbagai wilayah di Aceh, mereka segaja mendiami daerah ini untuk membuka lahan tidur dan dijadikan perkebunan serta tempat tinggal yang baru.

Saat ini, jenis perkebunan yang paling diminati masyarakat Ulee Gunong adalah tanaman coklat, mereka beranggapan tanaman ini lebih menjanjikan serta perawatannya juga terkesan lebih mudah.

Sebelum bertani coklat, masyarakat setempat merupakan petani kopi, dan ini telah digeluti masyarakat sejak dari tahun enam puluhan. Namun pada akhir sembilan puluhan masyarakat beralih untuk lebih memilih menanam coklat.

Mulanya tanaman coklat di derah ini dibawa oleh H Abu Bakar dan M Yusuf Ali, mereka mendapatkan bibitnya dengan membeli di kota Sigli seharga Rp 500/batang. Dari bibit inilah kemudian dibudidayakan menjadi lebih banyak, dan dibagikan pada masayarakat lainnya.

"Mulanya hanya saya dan H Abu Bakar saja yang menanam coklat di desa ini, kemudian barulah masyarakat yang lain mulai berminat menanamnya juga," ujar Yusuf Ali.

Namun kini perkebunan coklat (kakao) telah menjadi pertanian komoditas masyarakat Desa Ulee Gunong, dan menjadi sarana perekonomian utama dalam memenuhi kebutuan hidup penduduk yang kian lama kian meningkat.

Saat perkebunan coklat memasuki musim panen, masyarakat setempat mampu menghasilkan produknya dalam setahun sebanyak 2 ton/ha. Dan hasilnya mereka jual pada pedangang pegumpul Rp 10.000/kg, bahkan pada harga saat harga melonjak, mereka bisa menjualnya dengan harga 15.000/kg.

Ketika berlangsung konflik Aceh, para petani di derah ini terpaksa untuk mengungsi ke daearah lain dan meninggalkan perkebunan mereka. Hal ini dilakukan masyarakat secara berulang kali.
"Saat konflik berlangsung, semua masyarakat di desa ini terpaksa mengungsi ke daerah lain, sehingga perkebunan yang telah kami tanam harus ditinggali tanpa bisa mengambil hasil," tambahnya.

Pernyataan tersebut dibenarkan Muhammad, kepala Desa Ulee Gunong. Dia menyatakan, saat konflik berlangsung desanya menjadi daerah yang paling sering terjadi kontak tembak, hingga dia dan seluruh masyarakat Desa Ulee Gunong mengambil kesimpulan untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman.

“Hampir setiap hari di sepanjang jalan ini selalu terjadi kontak tembak dan penghadangan. bahkan korban yang berjatuhan pun tidak sedikit,” ungkapnya meyakinkan sembari menunjuk beberapa wilayah yang dianggap rawan.

Perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah yang tertuang dalam MoU Helsingki 15 Agustus 2005 yang lalu, merupakan salah satu titik cerah penyelesaian konflik Aceh. Demikian pula halnya yang dialami masyarakat desa Ulee Gunong.

Beberapa saat setelah perjanjian damai tercapai, keteika itulah masyarakat Ulee Gunong mulai berani untuk kembali ke kampung halaman mereka untuk kembali menggarap perkebunan yang telah lama terbengkalai.

Sementara itu, saat masyarakat mulai kembali ke desanya, mereka kembali dihadapankan dengan persoalan lainya. Mereka harus berpikir dari mana mendapatkan modal untuk memperbaiki perkebunan yang sekian lama tidak terawat.

"Saat kami kembali dari pengungsian, kebun milik masyarakat di desa ini sudah tidak terawat lagi, bahkan banyak juga tanaman yang mati dan diserang hama penyakit," ungkap Yusuf.

M. Nur, ketua kelompok tani desa setempat mengungkapkan, sejak mereka kembali mendiami daerah ini, sampai saat ini mereka belum pernah mendapatkan bantuan pertanian seperti halnya modal bagi masyarakat tani di derahnya. Padahal menurutnya mereka sangat membutuhkannya.

Selain modal, petani di desa ini juga mulai di resahkan dengan banyaknya penyakit dan jamur yang menyerang perkebunan coklat yang mereka garap, bahkan sampai saat ini mereka belum mendapatkan obat/vaksin untuk menanggulanginya.

“Banyak sekali hama dan penyakit yang menyerang perkebuanan kami, salah satunya penyakit busuk buah, yang hingga kini kamitidak tahu cara menanggulanginya,” ujar pria setengah baya itu ketika dijumpai di kebunnya.

Menanggapi telah terpilihnya Gubernur dan Bupati/Walikota baru di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, para petani berharap. Pemerintah terpilih agar mampu memberikan perhatiannya bagi masayarakat desa setempat, dan jangan hanya melihat dan memperhatikan daerah yang mudah dijangkau saja.

"Kami mengharapkan pemerintah baru Provinsi Naggroe Aceh Darussalam bisa memberikan perhatiannya pada petani di desa ini, karena profesi ini telah menjadi penopang kehidupan bagi masyarakat di sini," kata M Nur dengan penuh harapan. ***Rizha


Dipublikasikan di Tabloid Arash Edisi Januari 2007

Sisi Lain Pilkada Aceh


Senin 11 Desember 2006, merupakan hari bersejarah bagi rakyat Aceh, pada hari tersebut dilakukan pemilihan kepala daerah tingkat I dan II secara langsung untuk yang pertama kalinya. dan dilaksanakan secara serentak di seluruh penjuru Nanggroe Aceh Darussalam.


Pada tanggal tersebut seluruh masyarakat berbondong-bondong mengunjungi TPS-TPS yang telah disediakan untuk tempat dilakukan pemilihan. baik pemuda maupun orang tua yang telah lanjut usiapun tidak mau melewati kesempatan ini untuk memilih calon yang mereka sukai secara langsung.

Namun ketika semua orang terfokus untuk melakukan pemilihan, ada sebahagian rakyat Aceh yang tidak mau memperdulikan kegiatan Pilkada ini. Mereka memilih untuk tetap duduk di rumah ataupun melakukan aktivitasnya sehari-hari tanpa pergi dan menyumbangkan suaranya dalam pemilihan.

Murni (45), merupakan salah seorang yang tidak memberikan suranya dalam pilkada, pada hari tersebut ia lebih memilih untuk berjualan sayuran di pasar Peunayong. Walaupun pada hari itu pasar nampak sepi dan tidak seperti biasanya, namun ia tetap berjualan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

“ Saya lebih memilih berjualan dari pada memilih calon, karena menurut saya itu lebih baik” ujar murni dalam bahasa Aceh yang begitu kental.

Selain Murni, M.Nur (32) pria yang sehari-harinya bekerja berjualan nasi ini juga tidak melakukan pemilihan, walaupun sebenarnya jarak TPS tidak begitu jauh dengan tempat tinggalnya.

“ Untuk apa memilih, calonnya saja saya tidak kenal. Paling cuma tau nama dan asalnya saja. Sedangkan bagaimana sifatnya, saya tidak paham. Menurut saya sampai saat ini belum ada satu orang pun pemimpin yang jujur dan adil serta sesuai dengan ajaran Islam. Kalau yang seperti itu ada baru saya akan melakukan pemilihan”, ujarnya sambil meyakinkan tindakannya itu benar.

Lain lagi halnya dengan Iwan, warga kampung Keuramat Banda Aceh. Ia tidak melakukan pemilihan pada pilkada 11 Desember bukanlah karena tidak mau , melainkan karena ia tidak terdaftar sebagai calon pemilih. Padahal sebenarnya ia telah tinggal di sana hampir 6 tahun.

“ Saya tidak tahu kenapa pada saat saya mengecek nama di kelurahan tidak ada, padahal saya sangat ingin memilih, apalagi ini merupakan momen yang penting untuk menentukan nasib Aceh kedepan”.

Murni, M. Nur dan Iwan hanyalah sebahagian dari masyarakat Aceh yang tidak melakukan pemilihan pada pilkada 11 Desember 2006. mereka tidak ikut pemilihan dengan berbgai macam alasan tersendiri. Ada yang karena tidak mau melakukan pencoblosan karena tidak ada calon yang ia sukai, ataupun dikarenakan tidak terdaftar sebagai pemilih.***(Fachrur Rizha)

Pengemis di Persimpangan Jalan Raya

Pasca tsunami, keadaan Banda Aceh sekilas berangsur berubah menjadi lebih baik. Bahkan kalau dibandingkan sebelum tsunami keadaan perekonomian jauh tampak lebih maju. ini terlihat dari semakin banyaknya pembangunan. Dari yang sebelumnya hanya ada di pusat-pusat perkotaan dan jalan-jalan utama, kini telah menyebar sampai ke pelosok-pelosok kota.

Di samping itu semua, sering terlihat fenomena yang sangat menyedihkan, namun sayangnya hanya ada segelintir orang saja yang mau melirik ke arah sana. Dimana, di balik megahnya bangunan dan semakin tingginya pendapatan masyrakat, masih tampak ada orang-orang yang setiap harinya mencoba untuk selalu hadir dan rela disengat matahari dan diguyur hujan di persimpangan jalan. Mereka bukanya orang-orang yang sedang petugas perencanaan kota, dan bukan pula petugas kepolisian yang sedang mengatur ketertiban lalu lintas. Melainkan mereka orang-orang yang setiap harinya harus menegadahkan tangannya ke hadapan pengendara sepeda motor atau mobil yang kebetulan sedang menunggu lampu hijau di perempatan jalan.

Pengemis. Begitulah sebutan yang sering dikatakan orang dan akrab dengan pendengaran kita. Profesi ini menjadi semakin marak diberbagai penjuru kota Banda Aceh. Bahkan hal yang dulunya sangat asing, kini telah menjadi hal yang biasa dalam pandangan sehari-hari.

Di persimpangan Jambo Tape dan Simpang Surabaya setiap harinya tampak beberapa orang yang setiap harinya berprofesi menjadi pengemis. Ada orang tua yang cacat, ibu-ibu yang sudah lanjut usia, sampai anak-anak yang masih sangat kecil pun ada yang menjadi pengemis.

Setiap harinya, disaat aktifitas masyarakat dimulai. Para pengemis tidak pernah lupa untuk memulai atifitasnya juga. Mereka telah hadir beberapa waktu sebelumnya ke tempat masing-masing atau posisi tertentu. Dimana setiap dari mereka telah mempunyai wilayah-wilayah tertentu yang telah ditanda.

Para pengemis itu biasanya mulai mencari nafkah dari pukul 07.00 sampai mangrib, tapi ada juga yang bertahan sampai pukul 09.00 malam, baru kemudian mereka pulang rumah. Namun sebahagian ada yang harus rela menginap dan tidur di emperan toko-toko dengan hanya beralaskan koran atau di atas meja-meja yang diatur.

Seperti halnya yang dialami oleh Putra, anak berusia 11 tahun yang berasal dari Lampaseh, dikarenakan keluargan yang ia punya semuanya telah menjadi korban pada peristiwa tsunami yang memporak-porandakan Aceh pada akhir tahun 2004. Putra setiap harinya terpaksa menjadi pengemis di Simpang Surabaya. Ini ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang harus ia penuhi. Bahkan ia harus berhenti bersekolah hanya untuk menjadi pengemis.

Setiap harinya ia terpaksa pulang pada malam hari ke rumah. Kalau memang tidak memungkinkan untuk pulang, ia harus tidur di emperan toko atau halte yang ada sambil menunggu pagi. pendapatan yang bisa ia peroleh perharinya rata rata Rp. 30.000,-tapi terkadang juga bisa sampai Rp. 40.000,-. Semuanya tergantung dari berapa banyak orang yang mau memberikan.

Hal yang sama juga dialami oleh Safrizal, bocah berumur 13 tahun yang berasal dari Peuniti. Setiap harinya setelah pulang sekolah, ia rela berburu dengan waktu untuk bisa ke persimpangan jalan raya untuk menjadi pengemis. ini dilakukannya untuk membantu kebutuhan keluarga, dimana ibunya kini hanya bekerja sebagai tukang cuci, sedangkan ayahnya telah lama meninggal dunia.

Selain dari mereka, masih sangat banyak pengemis yang lain, baik itu yang sudah tua renta, atau mereka yang cacat. Namun kebanyakan dari mereka sangatlah tertutup dengan orang lain. Apalagi kalau ada orang yang ingin mendekati dan berbicara dengan mereka, maka mereka akan langsung menjauhinya seakan tidak ingin diajak berinteraksi. Tapi pastinya mereka mempunyai berbagai alasan tersendiri, baik itu karena takut kehilangan profesi atau hal-hal yang lain yang tidak bisa kita mengerti dan pahami. (Fachrur Rizha)

Berjuang tuk Hidup yang Lebih Layak

“tidak pernah ada satu NGO pun yang mau menawarkan modal kepada saya”

Diantara debu yang berterbangan dan asap kendaraan yang melintasi jalan Banda Aceh-Meulaboh terdapat sebuah warung yang dibangun dengan seadanya. Seorang pria muda berkulit hitam manis dengan mengenakan baju kaos biru dan celana jens bekerja memasak mie pesanan pembeli berada di dalamnya

Zakaria (25), demikinlah nama pria yang lahir dan di besarkan di desa Layeun, Leupung Aceh Besar. Setiap harinya ia berjulan mie dan beberapa barang kelontong lainnya. Ia baru saja membuka warungnya beberapa hari yang lalu. Sebelum mendirikan warung ia juga sempat gelisah memikirkan untuk mencari modal dari mana. Namun dengan tekat yang kuat ia pun akhirnya berhasil mendirikan warungnya dengan biaya sendiri.

Sebelum musibah tsunami tahun lalu, ia tidak tinggal di temapt ini. Melainkan ditemapt yang berjarak 500 meter dari warungnya. Namun semuanya kini hanya tinggal kenangan belaka, rumah yang merupakan tempat ia di lahirkan kini telah menjadi lautan siring dengan deruan ombak.

Saat tsunami, ia tidak berada di kampungnya, namun saat itu ia sedang bekerja di sebuah panglung kayu di kaki Gunung Gurutee. Ia juga sempat tenggelam dalam gulungan ombak yang begitu ganas.

“Kami waktu itu ada 43 orang, dan satu orang menjadi korban” ungkap Zakaria.

Setelah selamat dari kejadian itu, ia pun langsung teringat akan keluarganya yang tinggal dipesisir laut. Untuk pulang ke rumahnya Ia harus rela menempuh perjalanan kaki sejauh 2 Km dan berenang menyeberangi sungai sejauh 20 meter. Saat memijakkan kakinya di daratan, ia baru sadar kalau salah satu jarinya telah putus.

“Saya baru sadar kalau jari kaki saya telah putus saat seorang teman saya mengatakan kalau kaki saya mengelurkan darah”, ujarnya sambil mengenang kejadian.

Zakaria tidak langsung menyerah saat melihat kakinya mengelurkan darah segar, namun ia kembali bertekat untuk menempuh perjalanan hingga sampai ke sebuah pos aparat di Muara Mon Meeh. Disanalah ia sempat beristirahat dan bermalam.

Setelah dua hari melewati ketidakpastian, akhirnya ia pun baru bisa bertemu dengan kedua adiknya di pengungsian TVRI Mata Ie, di sanalah ia mengetahui kalau kedua orang tua dan kakaknya telah menjadi korban dalam musibah yang menimpa Aceh.

Setelah dua minggu lebih di Mata Ie, ia dan kedua adiknya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman dan menetap kembali di sana, sambil mencari keluarga yang mungkin masih selamat.

Selama kembali ke Desa Layeun, ia tidak pernah mendapatkan bantuan apapun, termasuk sembako. Yang pernah ia pernah dapatkan hanyalah beras raskin, namun tidak dengan cuma-cuma, melainkan harus membelinya dengan harga Rp. 1.000,- per kilogram.

Demikin pula halnya dengan jadup (jatah hidup), ia hanya mendapatkan tiga kali, dua kali di saat mengungsi di Mata Ie, dan hanya sekali ketika ia kembali ke desanya. Setelah itu tidak pernah lagi.

Ketika ia mencoba bertanya kepada Keuchik (Kepala Desa) setempat, dikatakan kalau namanya tidak terdata. Dan ketika menjumpai Camat, dikatakan kalau semuanya telah diserahkan kepada Keuchik masing-masing desa. Hingga akhirnya ia pun tidak mau lagi untuk menanyakan hal tersebut, karena ia menganggap kalau itu hanya akan sia-sia.

Menggenai bantuan usaha, ia juga tidak pernah mendapatkannya, walaupun sebenarnya ia sangat membutuhkannya untuk untuk menghidupi dirinya dan kedua orang adiknya.

“Tidak pernah ada satu Ngo pun yang mau menawarkan modal kepada saya, padahal sebenarnya saya sangat membutuhkannya untuk membangun warung saya ini”.

Saat ditanyai Naggroe berapa penghasilan yang ia dapat sehari-harinya, ia hanya sempat tersenyum dan berkata kelau keuntungan yang ia dapat hanya cukup untuk makan saja. Namun untuk mencukupi kebutuhan yang lain ia juga bekerja memotong kayu ke gunung-gunung dan membuat boat pesanan Ngo untuk diberikan kepada penduduk di Lhong.

Ia juga sempat berharap kalau saja ada yang mau membantu memberikan bantuan modal kepadanya, mungkin ia bisa hidup lebih baik lagi, serta bisa untuk membiayai sekolah kedua adiknya.

Zakaria hanyalah sebagian kecil dari penduduk desa Layeun yang harus rela mencari modal sendiri untuk dapat mendirikan warung sebagai penopang hidup keluarga. Mungkinkah nantinya akan ada NGO atau LSM yang akan mau membantu memberikan modal kepada mereka hingga menjadikan hidup mereka sedikit lebih baik?*** Rizha

Dipublikasikan di Majalah Nanggroe Edisi VI (Desember 2005)

Bemodalkan 75 Ribu Rupiah



Di sebuah sudut toko di jalan Syeikh M.Amin Pasar Peunayong, seorang perempuan tua sibuk menawarkan barang dagangannya kepada setiap orang yang lalu lalang melintas di depannya. Sesekali ada orang yang tertarik membeli sayur mayur dan peralatan dapur yang dijajakannya. Kendali sepi pembeli, ia tidak pernah putus asa.

Syammah, begitu nama perempuan berusia 65 tahun itu. Sehari-hari bekerja sebagai penjual sayur-sayuran dan peralatan memasak. Sudah belasan tahun ia bergelut dengan profesi yang satu ini. Usahanya ini bisa membantu perekonomian kelurganya, yang memang sudah tergolong sulit, jauh sebelum tsunami melanda Aceh akhir Desember tahun lalu.

Syammah sempat absen berjualan beberapa waktu, ketika ia mengungsi ke Lambaro Kaphe, Aceh Besar. Hal ini disebabkan karena rumahnya di Peulanggahan Banda Aceh telah hancur dihantam tsunami. Namun, karena tidak betah berada di pengungsian, Syammah pun akhirnya memilih untuk kembali ke kampung halamannya yang telah porak-poranda.

Di kampung, ia hidup dengan cara menumpang di rumah saudaranya yang bertempat tak jauh dari pertapakan rumahnya. Di sanalah ia kembali mengibarkan panji-panji usaha untuk menopang ekonomi keluarga.

Ketegaran memang telah menjadi milik Syammah, kendati tsunami telah merenggut nyawa suami dan anak-anaknya. Dengan bermodalan 75 ribu Syammah kembali berjualan di pasar Peunayong sejak awal Ramadhan.

“ Saya jualan hanya dengan modal yang diberikan orang. Mungkin karena orang itu kasihan, maka ia memberikan uang 75 ribu, yang kemudian saya pakai untuk jualan’’ ,kata Syammah saat ditemui wartawan Nanggroe Oktober lalu.

Pilihan perempuan yang bersuamikan M. Yusuf ini untuk berjualan dikarenakan ia tidak mau berpangku tangan menerima kenyataan dan cobaan dalam hidup ini. “ Dari pada harus duduk di rumah tanpa aktivitas apa-apa, dengan berjualan saya bisa lebih tenang tanpa harus termenung membayangkan musibah yang telah menimpa saya’’, Tegas wanita ini sambil mengenang keluarganya.

Sebelum tsunami melanda Aceh, Syammah berjualan bersama sang suami. Dimana dulu ia dan keluarganya termasuk pedagang kaki lima yang suskses, dengan barang dagangan yang lumayan banyak. Bahkan, suaminya dulu penah punya becak yang digunakan untuk mengangkut barang. Namun, kini semua itu hanya tinggal kenangan belaka. Praktis, kini ia hanya bisa berjualan seorang diri, dengan barang seadanya.

Kegigihan Syammah dalam berdagang tak perlu diragukan lagi, kendati usianya sudah senja, tapi ia masih ulet dalam menjajakan dagangannya. Saban hari, usai sahur di bulan Ramadhan, ia sudah siap untuk membawa dagangannya ke Pasar Peunayong. Dan menjelang sore, perempuan tua ini baru menyudahi jualannya.

Sebelum jualan di Pasar Peunayong, Syammah menggelar lapak dagangan di pinggir Jalan Supratman Peunayong. Namun, karena mendapat larangan dari petugas keamanan dan ketertiban Kota Banda aceh, Syammah pun terpaksa “Menggusur’’ lapaknya. “ Saya di usir sama petugas penertiban pasar, dengan alasan mengganggu lalu lintas’’, tandas Syammah.

Namun, Syammah mengaku betah dengan tempat berjulannya sekarang ini. “ Di sini agak teduh, jadi tidak takut terkena terik matahari atau hujan’’, ujarnya sambil tersenyum. Guratan ketuaan pun mulai muncul dari raut wajahnya.

Bagaimana dengan dana jaminan hidup yang dialokasikan pemerintah?
Nek Syammah mengaku hanya memperolehnya saat megang sebelum Ramadhan. Hal itu juga dibenarkan Nek Rukiyah (62), temannya yang mengungsi di dekat Mesjid Teungku Dianjong Peulanggahan. “ Kami hanya dapat 93 ribu, itu pun habis untuk membeli bumbu daging’’, Kata Rukiyah, dan kembali dibenarkan Syammah.

Ada satu harapan Syammah di saat lebaran Idul Fitri 1426 H kali ini. Harapannya tidak muluk, hanya permintaan kepada LSM/NGO untuk mendirikan tenda bagi warga Peulanggahan untuk bisa Shalat Ied (Idul Fitri) berjamaah! “ Sekarang nak, ibu susah untuk shalat tarawih berjamaah karena jarak mesjid sangat jauh’’, ungkapnya dengan penuh harapan.

Lalu pernahkah Syammah mendapat bantuan usaha pasca tsunami?
“ Ada yang tawarkan dari sebuah yayasan perempuan, tapi saya tak tahu persis kapan akan diberikan’’, ujarnya. Ia mengaku sempat kecewa dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat yang pernah menjanjikan bantuan bagi para korban tsunami. Pasalnya, hingga kini bantuan itu tidak jelas keberadaannya.

Malah, sebutnya, bantuan modal justru datang dari orang yang iba melihat kondisinya. “ Dikasih sama orang ada, tapi saya tidak pernah mau meminta-minta’’, ujarnya sembari berharap kepada LSM atau NGO tidak lagi megubar janji-janji kosong kepada mereka.

Siapa dan adakah yang nantinya mau membantu modal usaha bagi Syammah dan ribuan korban tsunami lainnya yang saat ini sedang ditimpa kesusahan?***(Rizha)
Dipublikasikan di Majalah Nanggroe Edisi IV (November 2005)

Reportase Aceh Jaya: Pengungsi Ujong Muloh Belum Dapatkan Rumah Bantuan

Ratusan pengungsi Desa Ujong Moloh, Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya hingga kini masih tinggal di tenda-tenda darurat, mereka telah tinggal di tenda tersebut selama satu tahun lebih, namun hingga kini belum ada kejelasan kapan mereka akan diberikan rumah.

Irwansyah(33), salah seorang pengungsi di desa tersebut mengatakan, kalau selama ini mereka hanya bisa pasrah dengan kondisi yang mereka alami saat ini. Menurutnya, mereka telah beberapa kali meminta bantuan kesana-kemari, namun hasilnya sampai saat ini tidak pernah terealisasi.

Ia juga menambahkan kalau saat ini kondisi pengungsi sangat memprihatinkan, karena kalau pada musim hujan keadaan di luar tenda akan digenangi air, ditambah lagi dengan banyaknya tenda-tenda yang telah bocor dan usang.

Sebelum tsunami melanda desa itu, masyarakat umumnya tinggal di pesisir pantai. Namun karena tanah mereka kini telah hilang dan menjadi lautan, maka masyarakat Ujong Muloh terpaksa untuk mengungsi dan mendirikan tenda-tenda di tanah milik orang lain yang juga merupakan bekas lapangan bola kaki

Para pengungsi sempat dijanjikan oleh BRR dan PEMDA untuk membantu mereka memberikan pembebasan tanah untuk ditinggali, namun hingga kini belum ada kejelasan dari pihak tersebut.
Disamping itu, Mulia Hardi(30), Sekretaris Desa setempat menjelaskan, kalau sebenarya selama ini ada beberapa NGO/LSM yang ingin membantu mereka untuk mendirikan rumah, seperti PMI Canada dan Wourd Vision. Namun dikarenakan tidak adanya kejelasan hak kepemilikan tanah, merekapun tidak berani untuk mendirikan rumah bagi masyarakat setempat.

Kini, masyarakat desa Ujong Muloh hanya bisa berharap agar PEMDA dapat memperhatikan keadaan mereka, dan pembangunan rumah bagi mereka bisa segera terwujud. Hingga mampu menjadikan mereka untuk dapat menikmati hidup yang lebih baik seperti halnya pengungsi-pengungsi di daerah lainnya. ***
Dipublikasikan di Harian Medan Pos, Edisi April 2006