Wednesday, October 10, 2007

Pengemis di Persimpangan Jalan Raya

Pasca tsunami, keadaan Banda Aceh sekilas berangsur berubah menjadi lebih baik. Bahkan kalau dibandingkan sebelum tsunami keadaan perekonomian jauh tampak lebih maju. ini terlihat dari semakin banyaknya pembangunan. Dari yang sebelumnya hanya ada di pusat-pusat perkotaan dan jalan-jalan utama, kini telah menyebar sampai ke pelosok-pelosok kota.

Di samping itu semua, sering terlihat fenomena yang sangat menyedihkan, namun sayangnya hanya ada segelintir orang saja yang mau melirik ke arah sana. Dimana, di balik megahnya bangunan dan semakin tingginya pendapatan masyrakat, masih tampak ada orang-orang yang setiap harinya mencoba untuk selalu hadir dan rela disengat matahari dan diguyur hujan di persimpangan jalan. Mereka bukanya orang-orang yang sedang petugas perencanaan kota, dan bukan pula petugas kepolisian yang sedang mengatur ketertiban lalu lintas. Melainkan mereka orang-orang yang setiap harinya harus menegadahkan tangannya ke hadapan pengendara sepeda motor atau mobil yang kebetulan sedang menunggu lampu hijau di perempatan jalan.

Pengemis. Begitulah sebutan yang sering dikatakan orang dan akrab dengan pendengaran kita. Profesi ini menjadi semakin marak diberbagai penjuru kota Banda Aceh. Bahkan hal yang dulunya sangat asing, kini telah menjadi hal yang biasa dalam pandangan sehari-hari.

Di persimpangan Jambo Tape dan Simpang Surabaya setiap harinya tampak beberapa orang yang setiap harinya berprofesi menjadi pengemis. Ada orang tua yang cacat, ibu-ibu yang sudah lanjut usia, sampai anak-anak yang masih sangat kecil pun ada yang menjadi pengemis.

Setiap harinya, disaat aktifitas masyarakat dimulai. Para pengemis tidak pernah lupa untuk memulai atifitasnya juga. Mereka telah hadir beberapa waktu sebelumnya ke tempat masing-masing atau posisi tertentu. Dimana setiap dari mereka telah mempunyai wilayah-wilayah tertentu yang telah ditanda.

Para pengemis itu biasanya mulai mencari nafkah dari pukul 07.00 sampai mangrib, tapi ada juga yang bertahan sampai pukul 09.00 malam, baru kemudian mereka pulang rumah. Namun sebahagian ada yang harus rela menginap dan tidur di emperan toko-toko dengan hanya beralaskan koran atau di atas meja-meja yang diatur.

Seperti halnya yang dialami oleh Putra, anak berusia 11 tahun yang berasal dari Lampaseh, dikarenakan keluargan yang ia punya semuanya telah menjadi korban pada peristiwa tsunami yang memporak-porandakan Aceh pada akhir tahun 2004. Putra setiap harinya terpaksa menjadi pengemis di Simpang Surabaya. Ini ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang harus ia penuhi. Bahkan ia harus berhenti bersekolah hanya untuk menjadi pengemis.

Setiap harinya ia terpaksa pulang pada malam hari ke rumah. Kalau memang tidak memungkinkan untuk pulang, ia harus tidur di emperan toko atau halte yang ada sambil menunggu pagi. pendapatan yang bisa ia peroleh perharinya rata rata Rp. 30.000,-tapi terkadang juga bisa sampai Rp. 40.000,-. Semuanya tergantung dari berapa banyak orang yang mau memberikan.

Hal yang sama juga dialami oleh Safrizal, bocah berumur 13 tahun yang berasal dari Peuniti. Setiap harinya setelah pulang sekolah, ia rela berburu dengan waktu untuk bisa ke persimpangan jalan raya untuk menjadi pengemis. ini dilakukannya untuk membantu kebutuhan keluarga, dimana ibunya kini hanya bekerja sebagai tukang cuci, sedangkan ayahnya telah lama meninggal dunia.

Selain dari mereka, masih sangat banyak pengemis yang lain, baik itu yang sudah tua renta, atau mereka yang cacat. Namun kebanyakan dari mereka sangatlah tertutup dengan orang lain. Apalagi kalau ada orang yang ingin mendekati dan berbicara dengan mereka, maka mereka akan langsung menjauhinya seakan tidak ingin diajak berinteraksi. Tapi pastinya mereka mempunyai berbagai alasan tersendiri, baik itu karena takut kehilangan profesi atau hal-hal yang lain yang tidak bisa kita mengerti dan pahami. (Fachrur Rizha)

No comments:

Post a Comment