Wednesday, October 10, 2007

Bemodalkan 75 Ribu Rupiah



Di sebuah sudut toko di jalan Syeikh M.Amin Pasar Peunayong, seorang perempuan tua sibuk menawarkan barang dagangannya kepada setiap orang yang lalu lalang melintas di depannya. Sesekali ada orang yang tertarik membeli sayur mayur dan peralatan dapur yang dijajakannya. Kendali sepi pembeli, ia tidak pernah putus asa.

Syammah, begitu nama perempuan berusia 65 tahun itu. Sehari-hari bekerja sebagai penjual sayur-sayuran dan peralatan memasak. Sudah belasan tahun ia bergelut dengan profesi yang satu ini. Usahanya ini bisa membantu perekonomian kelurganya, yang memang sudah tergolong sulit, jauh sebelum tsunami melanda Aceh akhir Desember tahun lalu.

Syammah sempat absen berjualan beberapa waktu, ketika ia mengungsi ke Lambaro Kaphe, Aceh Besar. Hal ini disebabkan karena rumahnya di Peulanggahan Banda Aceh telah hancur dihantam tsunami. Namun, karena tidak betah berada di pengungsian, Syammah pun akhirnya memilih untuk kembali ke kampung halamannya yang telah porak-poranda.

Di kampung, ia hidup dengan cara menumpang di rumah saudaranya yang bertempat tak jauh dari pertapakan rumahnya. Di sanalah ia kembali mengibarkan panji-panji usaha untuk menopang ekonomi keluarga.

Ketegaran memang telah menjadi milik Syammah, kendati tsunami telah merenggut nyawa suami dan anak-anaknya. Dengan bermodalan 75 ribu Syammah kembali berjualan di pasar Peunayong sejak awal Ramadhan.

“ Saya jualan hanya dengan modal yang diberikan orang. Mungkin karena orang itu kasihan, maka ia memberikan uang 75 ribu, yang kemudian saya pakai untuk jualan’’ ,kata Syammah saat ditemui wartawan Nanggroe Oktober lalu.

Pilihan perempuan yang bersuamikan M. Yusuf ini untuk berjualan dikarenakan ia tidak mau berpangku tangan menerima kenyataan dan cobaan dalam hidup ini. “ Dari pada harus duduk di rumah tanpa aktivitas apa-apa, dengan berjualan saya bisa lebih tenang tanpa harus termenung membayangkan musibah yang telah menimpa saya’’, Tegas wanita ini sambil mengenang keluarganya.

Sebelum tsunami melanda Aceh, Syammah berjualan bersama sang suami. Dimana dulu ia dan keluarganya termasuk pedagang kaki lima yang suskses, dengan barang dagangan yang lumayan banyak. Bahkan, suaminya dulu penah punya becak yang digunakan untuk mengangkut barang. Namun, kini semua itu hanya tinggal kenangan belaka. Praktis, kini ia hanya bisa berjualan seorang diri, dengan barang seadanya.

Kegigihan Syammah dalam berdagang tak perlu diragukan lagi, kendati usianya sudah senja, tapi ia masih ulet dalam menjajakan dagangannya. Saban hari, usai sahur di bulan Ramadhan, ia sudah siap untuk membawa dagangannya ke Pasar Peunayong. Dan menjelang sore, perempuan tua ini baru menyudahi jualannya.

Sebelum jualan di Pasar Peunayong, Syammah menggelar lapak dagangan di pinggir Jalan Supratman Peunayong. Namun, karena mendapat larangan dari petugas keamanan dan ketertiban Kota Banda aceh, Syammah pun terpaksa “Menggusur’’ lapaknya. “ Saya di usir sama petugas penertiban pasar, dengan alasan mengganggu lalu lintas’’, tandas Syammah.

Namun, Syammah mengaku betah dengan tempat berjulannya sekarang ini. “ Di sini agak teduh, jadi tidak takut terkena terik matahari atau hujan’’, ujarnya sambil tersenyum. Guratan ketuaan pun mulai muncul dari raut wajahnya.

Bagaimana dengan dana jaminan hidup yang dialokasikan pemerintah?
Nek Syammah mengaku hanya memperolehnya saat megang sebelum Ramadhan. Hal itu juga dibenarkan Nek Rukiyah (62), temannya yang mengungsi di dekat Mesjid Teungku Dianjong Peulanggahan. “ Kami hanya dapat 93 ribu, itu pun habis untuk membeli bumbu daging’’, Kata Rukiyah, dan kembali dibenarkan Syammah.

Ada satu harapan Syammah di saat lebaran Idul Fitri 1426 H kali ini. Harapannya tidak muluk, hanya permintaan kepada LSM/NGO untuk mendirikan tenda bagi warga Peulanggahan untuk bisa Shalat Ied (Idul Fitri) berjamaah! “ Sekarang nak, ibu susah untuk shalat tarawih berjamaah karena jarak mesjid sangat jauh’’, ungkapnya dengan penuh harapan.

Lalu pernahkah Syammah mendapat bantuan usaha pasca tsunami?
“ Ada yang tawarkan dari sebuah yayasan perempuan, tapi saya tak tahu persis kapan akan diberikan’’, ujarnya. Ia mengaku sempat kecewa dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat yang pernah menjanjikan bantuan bagi para korban tsunami. Pasalnya, hingga kini bantuan itu tidak jelas keberadaannya.

Malah, sebutnya, bantuan modal justru datang dari orang yang iba melihat kondisinya. “ Dikasih sama orang ada, tapi saya tidak pernah mau meminta-minta’’, ujarnya sembari berharap kepada LSM atau NGO tidak lagi megubar janji-janji kosong kepada mereka.

Siapa dan adakah yang nantinya mau membantu modal usaha bagi Syammah dan ribuan korban tsunami lainnya yang saat ini sedang ditimpa kesusahan?***(Rizha)
Dipublikasikan di Majalah Nanggroe Edisi IV (November 2005)

No comments:

Post a Comment