Wednesday, October 10, 2007

Belajar di Tumpukan Sampah


“Ngak ada uang untuk melanjukan sekolah. Jadi, lebih baik mengisi waktu dengan menjual barang-barang bekas seperti ini aja”


Guyuran keringat dan bau tak sedap seakan tak menghalagi tekatnya dalam megais sedikit uang untuk melanjutkan hidup. Meskipun terkadang harus tersengat panasnya matahari dan derasnya hujan, namun remaja berambut ikal dan bertubuh kurus ini tetap tagar berebut rezeki bersama lalar yang memenuhi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Kampung Jawa, Kota Banda Aceh.

Usma Daud (16), demikianlah nama anak berkemeja lusuh dan jeans biru itu. Remaja asal Krueng Gukuh, Kabupaten Aceh Utara ini telah menjalani profesinya sebagai pemulung hampir setahun yang lalu. Dia terpaksa meninggalkan bangku pendidikan dan keluarganya untuk membantu perekonomian keluarga yang semakin terjepit.

“Ngak ada uang untuk melanjukan sekolah. Jadi, lebih baik mengisi waktu dengan menjual barang-barang bekas seperti ini aja,” katanya.

Sebelumnya Usma sempat bersekolah satu tahun di salah satu SMA negeri di Aceh Utara, namun dikarenakan kondisi perekomian orang tua yang semakin terjepit, dia pun terpaksa untuk mengurungkan niatnya menyelesaikan pendidikan di sekolah tersebut. Meskipun sebenarnya dia sangat menempuh pendidikan hingga ke perguruan tinggi.

“Kalau di kampung terus, paling hanya akan memberatkan orang tua. Tapi, di sini saya bisa membiayai semua sendiri, dan bahkan barang bekas pun bisa jadi uang,” ujarnya seraya membersihkan radio bekas yang ditemukan diantara tumpukan sampah.

Saat ditanyakan apakah dia masih ingin melanjutkan pendidikan jika ada yang mau membiayai sekolahya dikemudian hari, kata Usma, hal itu telah menjadi harapannya sejak dulu, dan dia juga merasa sangat sedih ketika dia baru merasakan pendidikan di sekolah menengah, ternyata harus kandas dan berhenti ditengah jalan.

“Siapa yang tidak ingin menyelesaikan sekolah bersama teman-teman di kampung, apalagi jika bisa sampai perguruan tinggi hingga memperoleh gelar sarjana. Tapi semua itu kini hanya menjadi kenangan dan harapan saja bagi saya,” ungkapnya seraya mengenang saat ia masih bersekolah dulu.

Sementara itu, di sebuah kafe di sudut Kota Banda Aceh, Ramlan (11) anak bercela merah dan bersandal butut senantiasa membawakan tas plastik dan sejumlah amplove untuk diserahkan kepada sejumlah pengunjung yang datang. Saban harinya hal itu dilakukannya untuk mengharapkan sedikit belas kasihan dari masyarakat yang bercegkrama dan menikmati hidangan yang disugukan pelayan kafe.

Anak yang seharusnya sedang indah menikmati waktu bermain dan belajar dengan teman-teman sebayanya, kini terpaksa harus membantu kebutuhan ekonomi keluarga dengan menjadi pengemis di sejumlah tempat.

“Setiap hari saya mengimis dari pagi hingga malam hari, itung-itung untuk tambah uang jajan dan bantu orang tua,” katanya seraya tersenyum.

Usma Daud dan Ramlan hanyalah segelintir dari ribuan anak Aceh yang tidak dapat melanjutkan pendidikan dan harus rela bekerja serta meninggalkan masa-masa yang seharusnya dihabiskannya untuk belajar di seklah-sekolah. Di berbagai tempat lainnya, baik persimpangan jalan maupun kefe-kefe dan rumah makan senantiasa masih tampak tampak ratusan anak-anak Aceh lainnya yang menghabiskan kesehariannya dengan menjadi gepeng (gelandangan dan pengemis).

Di tengah banyaknya lembaga donor dalam dan luar negeri yang menghamburkan bantuannya ke Aceh dan triliyunan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) per tahunnya, namun di sisi lain masih ada anak-anak Aceh yang belum dapat “mencicipi” dunia pendidikan.***Rizha
Dipublikasikan di Tabloid Lintas Nol Edisi I (September)

No comments:

Post a Comment