Saturday, October 27, 2007

Banjir Lagi... Banjir Lagi...

Hujan lebat yang akhir-akhir ini mengguyur hampir seluruh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) telah mengakibatkan banjir di beberapa kabupaten/kota. Bahkan dua orang meninggal dunia terseret arus banjir di kabupaten Aceh Selatan. Akankah ini menjadi “tradisi yang harus dirayakan” rakyat Aceh?

Masih kental diingatan kita bagaimana dahsyatnya musibah banjir bandang di Aceh Tamiang akhir Desember 2006 lalu. Puluhan nyawa melayang. Rumah pun rata diseret arus banjir. Apalagi ladang tempat para petani mencari nafkah, yang dulunya di tanami tanaman jeruk, langsat dan tanaman lainnya ludes ditelan banjir. tidak ketinggalan ternak milik masyarakat setempat pun ikut hanyut.

Sebelum di Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Tenggara juga pernah terjadi banjir banding, disusul kemudian kota Sabang. Di kedua Kabupaten ini musibah tersebut turut merenggut korban jiwa maupun harta benda.

Diakui atau tidak, salah satu sebab terjadinya banjir dikarenakan banyak pohon di hutan Aceh yang ditebang sembarangan tanpa ada penanaman kembali. Pohon yang seharusnya berfungsi sebagai penahan/penyerap air disaat hujan, telah dibabat oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Banjir yang melanda hampir di seluruh provinsi NAD dinilai juga terjadi akibat proses percepatan rehab dan rekon yang “tidak ikhlas” dari pihak yang bertanggung jawab, dalam hal ini Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias.

BRR merupakan lembaga yang dibentuk langsung oleh pemerintah pusat karena terjadinya musibah gempa dan tsunami Desember 2004 lalu di Aceh dan Nias. Banyaknya negara asing yang membantu Aceh dan Nias tanpa ada yang mengontrol, memaksa pemeritah membentuk badan tersebut.

BRR juga diamanahkan untuk secepatnya menyelesaikan rehab dan rekon di berbagai sektor di Aceh dan Nias. Seluruh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik lokal maupun asing yang tunduk kepada BRR. Pemerintah memberi target penyelesaian proses rehab rekon hingga tahun 2009 kepada BRR dan sejumlah LSM/NGO asing untuk menuntaskan programnya.

Ke-tidak ikhlasan dari tiga pihak yang penulis nilai bertanggung jawab (Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan BRR NAD-Nias) pun mulai ditampakkan. Aksi protes terlihat mengiringi kebijakan Menteri Kehutanan (Menhut) mengenai tambahan kuota tebang kayu di Aceh tahun 2006 yang sepuluh kali lebih besar dibanding sebelumnya. Alasan Menhut menambah kuota tersebut untuk mendukung rehab dan rekon Aceh di masa mendatang. Beruntung kebijakan itu ditentang oleh berbagai elemen masyarakat, termasuk anggota DPRD Nanggroe Aceh Darussalam. Bahkan Asrul Abbas, dari Fraksi PAN menilai kebijakan Menhut ini telah melukai hati rakyat Aceh.

Belum lagi masalah masih banyaknya korban gempa dan tsunami yang belum memiliki rumah dan terpaksa menginap di Hunian Sementara (HUNTARA). Padahal uang yang ada di BRR sangat banyak. Terlebih lagi target yang diberi pemerintah untuk BRR menyelesaikan misinya hanya tinggal beberapa saat lagi.

Pencurian kayu di hutan Aceh bukan hal yang tidak mungkin terjadi akibat tuntutan target dan banyaknya kayu yang dibutuhkan untuk membangun ratusan ribu rumah warga, gedung sekolah, puskesmas, perahu dan boat nelayan yang hancur maupun rusak akibat gempa dan tsunami dua tahun silam.

Kalau memang kebutuhan kayu yang demikian banyak, namun hutan Aceh tak boleh ditebang, lalu dari mana “emas hitam” itu akan diperoleh?

Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Irwandi Yusuf, sebelumnya juga telah menetapkan moratorium loging untuk seluruh kawasan hutan Aceh dengan pemberian sanksi tagas kepada siapapun dan dari komponen manapun yang ingin merambah keperawanan hutan Aceh.

Hal itu dilakukan Gubernur untuk mewujudkan kembali keindahan hutan, keseimbangan alam serta mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana alam yang lebih besar di masa mendatang di Negeri Tanah Rencong ini.

Meskipun berbagai kebijakan telah dicanangkan oleh pihak eksekutif dan legislatif di Provinsi NAD, namun musibah banjir masih saja terjadi tiap tahunnya. Sedihnya lagi, bukan hanya lumpur dan bebatuan yang dibawa banjir, tapi gelondongan kayu berukuran kecil maupun besar juga ikut dibawa arus dan menghantam rumah-rumah penduduk.

Saat ini kita hanya bisa berharap kejadian yang serupa tidak terulang lagi di Aceh. Tentunya hal itu hanya dapat terwujud jika seluruh komponen di Aceh mampu menerima komitmen bersama (moratorium loging) dengan ikhlas dan penuh tanggungjawab. Semoga!!!

No comments:

Post a Comment