Wednesday, October 10, 2007

Berjuang tuk Hidup yang Lebih Layak

“tidak pernah ada satu NGO pun yang mau menawarkan modal kepada saya”

Diantara debu yang berterbangan dan asap kendaraan yang melintasi jalan Banda Aceh-Meulaboh terdapat sebuah warung yang dibangun dengan seadanya. Seorang pria muda berkulit hitam manis dengan mengenakan baju kaos biru dan celana jens bekerja memasak mie pesanan pembeli berada di dalamnya

Zakaria (25), demikinlah nama pria yang lahir dan di besarkan di desa Layeun, Leupung Aceh Besar. Setiap harinya ia berjulan mie dan beberapa barang kelontong lainnya. Ia baru saja membuka warungnya beberapa hari yang lalu. Sebelum mendirikan warung ia juga sempat gelisah memikirkan untuk mencari modal dari mana. Namun dengan tekat yang kuat ia pun akhirnya berhasil mendirikan warungnya dengan biaya sendiri.

Sebelum musibah tsunami tahun lalu, ia tidak tinggal di temapt ini. Melainkan ditemapt yang berjarak 500 meter dari warungnya. Namun semuanya kini hanya tinggal kenangan belaka, rumah yang merupakan tempat ia di lahirkan kini telah menjadi lautan siring dengan deruan ombak.

Saat tsunami, ia tidak berada di kampungnya, namun saat itu ia sedang bekerja di sebuah panglung kayu di kaki Gunung Gurutee. Ia juga sempat tenggelam dalam gulungan ombak yang begitu ganas.

“Kami waktu itu ada 43 orang, dan satu orang menjadi korban” ungkap Zakaria.

Setelah selamat dari kejadian itu, ia pun langsung teringat akan keluarganya yang tinggal dipesisir laut. Untuk pulang ke rumahnya Ia harus rela menempuh perjalanan kaki sejauh 2 Km dan berenang menyeberangi sungai sejauh 20 meter. Saat memijakkan kakinya di daratan, ia baru sadar kalau salah satu jarinya telah putus.

“Saya baru sadar kalau jari kaki saya telah putus saat seorang teman saya mengatakan kalau kaki saya mengelurkan darah”, ujarnya sambil mengenang kejadian.

Zakaria tidak langsung menyerah saat melihat kakinya mengelurkan darah segar, namun ia kembali bertekat untuk menempuh perjalanan hingga sampai ke sebuah pos aparat di Muara Mon Meeh. Disanalah ia sempat beristirahat dan bermalam.

Setelah dua hari melewati ketidakpastian, akhirnya ia pun baru bisa bertemu dengan kedua adiknya di pengungsian TVRI Mata Ie, di sanalah ia mengetahui kalau kedua orang tua dan kakaknya telah menjadi korban dalam musibah yang menimpa Aceh.

Setelah dua minggu lebih di Mata Ie, ia dan kedua adiknya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman dan menetap kembali di sana, sambil mencari keluarga yang mungkin masih selamat.

Selama kembali ke Desa Layeun, ia tidak pernah mendapatkan bantuan apapun, termasuk sembako. Yang pernah ia pernah dapatkan hanyalah beras raskin, namun tidak dengan cuma-cuma, melainkan harus membelinya dengan harga Rp. 1.000,- per kilogram.

Demikin pula halnya dengan jadup (jatah hidup), ia hanya mendapatkan tiga kali, dua kali di saat mengungsi di Mata Ie, dan hanya sekali ketika ia kembali ke desanya. Setelah itu tidak pernah lagi.

Ketika ia mencoba bertanya kepada Keuchik (Kepala Desa) setempat, dikatakan kalau namanya tidak terdata. Dan ketika menjumpai Camat, dikatakan kalau semuanya telah diserahkan kepada Keuchik masing-masing desa. Hingga akhirnya ia pun tidak mau lagi untuk menanyakan hal tersebut, karena ia menganggap kalau itu hanya akan sia-sia.

Menggenai bantuan usaha, ia juga tidak pernah mendapatkannya, walaupun sebenarnya ia sangat membutuhkannya untuk untuk menghidupi dirinya dan kedua orang adiknya.

“Tidak pernah ada satu Ngo pun yang mau menawarkan modal kepada saya, padahal sebenarnya saya sangat membutuhkannya untuk membangun warung saya ini”.

Saat ditanyai Naggroe berapa penghasilan yang ia dapat sehari-harinya, ia hanya sempat tersenyum dan berkata kelau keuntungan yang ia dapat hanya cukup untuk makan saja. Namun untuk mencukupi kebutuhan yang lain ia juga bekerja memotong kayu ke gunung-gunung dan membuat boat pesanan Ngo untuk diberikan kepada penduduk di Lhong.

Ia juga sempat berharap kalau saja ada yang mau membantu memberikan bantuan modal kepadanya, mungkin ia bisa hidup lebih baik lagi, serta bisa untuk membiayai sekolah kedua adiknya.

Zakaria hanyalah sebagian kecil dari penduduk desa Layeun yang harus rela mencari modal sendiri untuk dapat mendirikan warung sebagai penopang hidup keluarga. Mungkinkah nantinya akan ada NGO atau LSM yang akan mau membantu memberikan modal kepada mereka hingga menjadikan hidup mereka sedikit lebih baik?*** Rizha

Dipublikasikan di Majalah Nanggroe Edisi VI (Desember 2005)

No comments:

Post a Comment